MANUSIA memiliki persamaan hak dan kewajiban. Kemuliaan insani merupakan fenomena fitrah yang tak lekang oleh waktu. Oleh sebab itu, siapa pun tidak boleh merasa lebih tinggi dari yang lain. Seseorang yang baik harus rendah hati kepada Tuhannya, juga kepada sesama manusia, tidak boleh angkuh dan merasa lebih tinggi, juga tidak boleh sombong. Ia sama seperti yang lain, berasal dari satu keturunan.
Oleh karena itu, Allah Swt. dan Rasul-Nya memerintahkan dan menganjurkan kita rendah hati untuk menebarkan cinta dan harmoni antara satu dengan yang lain, saling bekerja sama dalam kebajikan dan takwa, dan dalam memperbaiki umat atau masyarakat. Allah Swt. berfirman kepada Nabi-Nya, sekaligus kepada umatnya, Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman (QS Al-Syuara’ [26]: 215).
Maksudnya, Nabi diperintahkan untuk lembut kepada orang yang ada di sekitarnya, dan rendah hati kepada orang beriman. Allah Swt. berfirman, Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa (QS Al-Najm [53]: 32). Maksud ayat ini, mereka tidak boleh memuji dan membanggakan diri, karena Allah Swt. Maha Mengetahui siapa yang paling bertakwa dan paling unggul.
Allah Swt. menggambarkan kerendahan hati umat yang beriman dan merasa bangga di depan pihak musuh dalam firman-Nya, Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka, dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir (QS Al-Maidah [5]: 54).
Maksudnya, Allah Swt. mencintai mereka. Dalam arti kata, membimbing dan meneguhkan mereka. Yang dimaksud mereka mencintai-Nya adalah: mereka mau taat kepada-Nya. Yang dimaksud bersikap lemah lembut terhadap orang mukmin adalah: bersikap rendah hati. Adapun yang dimaksud bersikap keras terhadap orang kafir adalah: harus dan mengalahkan.
Agar bahagia, berkembang, dan maju, semua manusia dituntut bekerja sama dan saling pengertian. Semua itu hanya bisa dicapai melalui saling pengertian dan rendah hati. Allah Swt berfirman, Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu (QS Al-Hujurat [49]: 13). Jadi, dasar kemuliaan itu hanyalah takwa dan amal saleh, bukan garis keturunan, ras, dan kebangsaan.
Orang-orang sombong terkejut atas berita yang diinformasikan sejumlah orang di akhirat tentang kedudukan yang tinggi. Mereka mengira mereka lebih rendah, sedangkan orang orang yang sombong itu lebih tinggi, ternyata malah sebaliknya. Allah Swt. berfirman, Dan orang-orang yang di atas A’raf memanggil beberapa orang (pemuka-pemuka orang kafir) yang mereka mengenalnya dengan tanda-tandanya dengan mengatakan, “Harta yang kamu kumpulkan dan apa yang selalu kamu sombongkan itu, tidaklah memberi manfaat kepadamu.” (Orang-orang di atas A’raf bertanya kepada penghuni neraka,) “Itukah orang-orang yang kamu telah bersumpah bahwa mereka tidak akan mendapat rahmat Allah?” (Kepada orang mukmin itu dikatakan.) “Masuklah ke surga, tidak ada kekhawatiran terhadapmu dan tidak (pula) kamu bersedih hati (QS Al-A’raf [7]: 48-49).
Berikut hadis Rasulullah Saw. yang mempertegas keutamaan rendah hati. Hadis dan Al-Quran adalah dua sumber yang berasal dari satu cahaya. Imam Muslim meriwayatkan dari Iyadh bin Hammar r.a. bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah berpesan kepadaku agar kalian bersikap rendah hati sehingga tidak ada lagi seseorang yang merasa sombong kepada orang lain dan tidak ada lagi seseorang yang menyakiti orang lain.”
Sikap rendah hati di hadapan Allah Swt, adalah sikap yang mulia dan luhur, karena Allah Swt. sendiri adalah Pemilik kemuliaan, keluhuran, kekuasaan, kesempurnaan, dan ketuhanan.
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., “Harta tidak akan berkurang dengan sedekah. Seorang hamba yang pemaaf pasti akan Allah tambahkan kewibawaan baginya. Dan tidak ada seseorang yang merendahkan diri kepada Allah, kecuali Allah akan mengangkat derajatnya.”
Salah satu bentuk rendah hati beliau adalah kasih sayang kepada anak kecil. Beliau selalu menyapa mereka bila berpapasan, supaya merasa dihormati. Sebuah hadis muttafaq ‘alaih dari Anas r.a. menuturkan bahwa beliau pernah melewati anak-anak kecil, lalu beliau memberi salam kepada mereka. Anas berkata, “Nabi Saw, selalu melakukan hal ini.”
Imam Al-Bukhari meriwayatkan juga dari Anas r.a. berkata, “Seorang budak wanita penduduk Madinah memegang tangan Nabi Muhammad Saw,, lalu mengajaknya pergi ke mana saja ia suka.
Bentuk kerendahan hati beliau yang lain adalah mengerjakan tugas-tugas rumah dan melayani keluarganya. Imam Al-Bukhari meriwayatkan Al-Aswad bin Yazid mengatakan bahwa Aisyah ra. pernah ditanya, “Apa yang diperbuat Nabi Muhammad Saw. ketika di rumah?” Ia menjawab, “la melayani keluarganya. Bila tiba waktu shalat, beliau pergi melaksanakan shalat.”
Bentuk rendah hati beliau yang lain adalah menerima undangan dari siapa pun, di acara apa pun, dan menerima hadiah apa pun. Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. dari Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Seandainya keledai atau kambing yang berkaki kurus memanggilku, tentu aku akan memenuhi panggilannya. Seandainya aku diberi hadiah berupa keledai atau kambing yang berkaki lurus, tentu aku akan menerima.” Nabi Muhammad Saw. meninggalkan khutbah dan bergegas mengajarkan agama dan ilmu dari Allah Swt. kepada seorang laki-laki asing.
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Rifa’ah Tamim bin Usaid r.a. berkata, “Aku pernah datang kepada Rasulullah Saw. di saat beliau sedang berkhutbah. Aku berkata, Wahai Rasulullah, ada orang asing yang datang untuk bertanya agamanya. Ia tidak tahu apa agamanya?’ Rasulullah Saw. datang menghampiriku dan menghentikan khutbahnya. Sesampainya di dekatku, disiapkan untuk beliau sebuah kursi. Beliau duduk dan mengajarkan kepadaku ilmu yang diajarkan Allah. Setelah itu, beliau melanjutkan khutbahnya kembali.” Adakah ulama yang melakukan hal seperti itu? Situasi selalu berubah sehingga yang tadinya di bawah bisa jadi di atas, dan yang tadinya di atas bisa jadi di bawah.
Diambil dari Buku Akhlak Muslim karya Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili
(DM)