Seorang ulama terkemuka bernama Haji Abdul Malik Karim Amarullah (HAMKA), dilahirkan di daerah Sungai Batang, Maninjau Sumatera Barat pada hari Ahad, tanggal 17 Februari 1908 M./13 Muharam 1326 H dari kalangan keluarga yang taat beragama. Ayahnya bernama Haji Abdul Karim Amarullah atau sering disebut Haji Rasul. Haji Rasul adalah seorang ulama yang pernah mengenyam pendidikan agama di Mekkah, pelopor kebangkitan kaum muda dan tokoh Muhammadiyah di Minangkabau. Dari geneologis ini dapat diketahui, bahwa ia berasal dari keturunan yang taat beragama dan memiliki hubungan dengan generasi pembaharu Islam di Minangkabau pada akhir abad ke-19. Ia lahir dalam struktur masyarakat Minangkabau yang menganut sistem adat keibuan (suku ibu/matrilineal).
Hamka merupakan salah satu tokoh pembaharu Minangkabau yang berupaya mengubah dinamika umat dan mujaddid yang unik. walaupun hanya sebagai produk pendidikan lama karena lahir dari sebuah peradaban pendidikan yang masih sederhana, namun beliau merupakan seorang intelektual yang memiliki wawasan menyeluruh dan visioner. Hal ini nampak pada pembaharuan pendidikan Islam yang ia perkenalkan melalui Masjid Al-Azhar yang ia kelola atas permintaan pihak yayasan melalui Ghazali Syahlan dan Abdullah Salim. Hamka menjadikan Masjid Al-Azhar bukan hanya sebagai institusi keagamaan, tetapi juga sebagai lembaga sosial, diantaranya:
Pertama, Suatu lembaga Pendidikan (Mulai TK Islam sampai Perguruan Tinggi Islam).
Kedua, Badan Pemuda. Secara berkala, badan ini menyelenggarakan kegiatan pesantren kilat, seminar, diskusi, olah raga, dan kesenian.
Ketiga, Badan Kesehatan. Badan ini menyelenggarakan dua kegiatan, yaitu; poliklinik gigi dan poliklinik umum yang melayani pengobatan untuk para siswa, jemaah masjid, maupun masyarakat umum.
Keempat, Akademi, Kursus, dan Bimbingan Masyarakat. Di antara kegiatan badan ini adalah mendirikan Akademi Bahasa Arab, Kursus Agama Islam, membaca Al-Qur’an, manasik haji, dan pendidikan kader muballigh.
Di masjid Al-Azhar pula, atas permintaan Hamka, dibangun perkantoran, aula, dan ruang-ruang belajar yakni sebagai media pendidikan dan sosial. Ia telah mengubah wajah Islam yang sering kali dianggap ’marginal’ menjadi suatu agama yang sangat ’berharga’. Ia hendak menggeser persepsi ’kumal’ terhadap kiyai dalam wacana yang eksklusif, menjadi pandangan yang insklusif, respek dan bersahaja. Bahkan, beberapa elit pemikir dewasa ini merupakan orang-orang yang pernah dibesarkan oleh Masjid Al-Azhar.
Beberapa pandangan buya Hamka mengenai pendidikan, bahwa pendidikan sekolah tak semestinya terlepas dari pendidikan di rumah. Karena menurutnya, alur hubungan antara sekolah dan rumah, yaitu antara orang tua dan guru harus ada dan konsern. Untuk mendukung hal ini, Hamka menjadikan Masjid Al-Azhar sebagai tempat bersilaturrahmi antara guru dan orang tua untuk membicarakan perkembangan peserta didik. Dengan adanya sholat jamaah di masjid, maka antara guru, orang tua dan murid bisa berkomunikasi secara langsung.
Tujuan pendidikan Islam secara umum yaitu untuk menbentuk peserta didik sesuai dengan ajaran Islam yang luhur. Hamka memiliki dua dimensi, yakni yang fundamental, yaitu untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Untuk mencapai tujuan ini, manusia harus memaksimalkan segala potensi yang dimilikinya untuk beribadah dengan sebaik-baiknya, karena esensi beribadah bukan hanya pada orientasi keakhiratan semata. Namun pada akhirnya, segala proses pendidikan yang dilaksanakan dan dirasakan oleh peserta didik, bertujuan untuk menjadikan peserta didik sebagai Abdi Allah yang baik.
Hamka mengkalisifikasikan pendidik dalam tiga unsur utama, yaitu: orang tua, guru dan masyarakat. Ajaran Islam, Menurut Hamka, anak-anak umur 7 tahun hendaklah disuruh sembahyang, umur 10 tahun paksa supaya jangan ditinggalkannya, sembahyang di awal waktu dengan segera, kalau dapat hendaklah dengan hati tunduk (thau’an). Kalau hati ragu hendaklah paksa pula hati itu (karhan). Inilah yang bernama sugesti menurut ilmu jiwa zaman sekarang. Mudah-mudahan lantaran tiap hari telah diadakan pengaruh demikian, jalan itu akhirnya akan terbuka juga.
Bahkan kewajiban sebagai seorang pendidik menurut Hamka, yakni:
Sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa berinteraksi dan membutuhkan bantuan orang lain yang ada di sekitarnya. Sifat dasar ini membuat interdependensi antar peserta didik dengan manusia lain dalam komunitasnya tak bisa dihindarkan. Eksistensinya saling bekerja sama dan saling memengaruhi antara satu dengan yang lain. Melalui bentuk komunitas masyarakat yang harmonis, menegakkan nilai akhlak, dan hidup sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama yang akan dapat mewujudkan tatanan kehidupan yang tentram.
Mas Arif (Santri Pondok Mahasiswa Azzakiyyah)