Bagi seorang perantau seperti kami ada saja hal – hal yang berkesan saat lebaran di kampung halaman. Selain bertemu dengan keluarga, berjabat tangan selepas sholat idulfitri salah satunya. Acara membuat lingkaran besar setelah selesai khotbah idulfitri kemudian jamaah saling berjabat tangan sangat membantu bagi kami. Rasanya seperti melepas rindu kepada keluarga, saudara, sahabat, dan teman yang jarang bertemu. Mumpung sama – sama di lapangan, karena pasti tidak mudah untuk mengatur waktu untuk berkunjung ke rumah satu persatu. Apalagi semakin bertambah umur, kami rasakan makin banyak amanah dan waktupun menjadi lebih sempit.
Lebaran tahun ini Alhamdulillah bisa sholat di lapangan sehingga bisa bertemu dengan banyak saudara muslim di kampung halaman. Seperti biasanya selepas khotbah kami tidak langsung pulang karena menunggu waktu salaman dengan jamaah. Salah seorang tokoh mengawalinya, namun nampaknya tidak seperti biasanya. Jamaah membubarkan diri terlebih dahulu lalu hanya tinggal beberapa orang, yang mungkin jika dihitung dengan total jari masih sisa. Rasanya bertanya – tanya, kok begini yah? Ada apa gerangan. Meskipun secara gejala sudah nampak dari beberapa tahu silam, tanda – tanda berkurangnya ketertarikan jamaah untuk meneruskan salaman secara jamaah ba’da sholat idulfitri.
Fenomena ini membuat kami bertanya, apa ini gejala politik? Apa gejala sosial?, apa gejala ekonomi?, apa gejala agama?. Gejala politik mungkin ada beberapa orang yang ditokohkan tidak sependapat dalam masalah salaman, sehingga jika tokoh A begini tokoh B harus begitu, agar tidak terlihat kalah dan bukti masih eksis, kemudian mereka diikuti oleh pengikutnya masing – masing. Gejala sosial mungkin sudah semakin canggihnya teknologi sehingga tidak diperlukan lagi salaman, cukup lewat medsos salamanya, atau rasa individual yang tinggi sehingga tak penting lagi salaman karena tidak wajib. Gejala ekonomi mungkin salaman memang tidak bisa dimonetes, karena waktu adala uang mending cari uang daripada salaman. Gejala agama mungkin ada pemahaman pada tokoh yang kemudian diikuti jamaahnya bahwa salaman jamaah bakda sholat idulfitri tidak dicontohkan nabi. Entalah.
Rasanya semakin kesini semakin salut dengan orang – orang terdahulu yang meninggalkan beberapa kebiasaan “budaya” yang mendukung nilai – nilai keislaman dan mempermudah dalam mendapat banyak kebaikan. Membuat orang bersalaman secara berjamaah setelah khotbah idulfitri itu tidak mudah. Namun pendahulu kita membuatnya menjadi mudah dan serasa punya kekuatan sosial (sosial kontrol) dan kekuatan moral sehingga semua terasa ingin melakukannya tanpa paksaan tanpa tekanan.
Sayang juga rasanya jika kita meninggalkan begitu saja apa yang telah dibiasakan oleh orang – orang sebelum kita tanpa ingin belajar, mendegar, melihat, memahami dengan hati yang ikhlas dan berharap hidayah dari Allah. Banyak nilai adi luhur yang kita tenggelamkan dan kita ganti dengan nilai yang kita saja belum begitu paham dengan pemahaman kita atas nilai tersebut. Kami kawatir jika “pedot oyot” atau putus akar dari apa yang telah diperjuangkan pendahulu kita, kita bukan hanya kehilangan nilai tersebut, tapi kita kehilangan juga identitas kita sebagai diri, masyarakat, dan bangsa. Tunggu saja jika kita berbangga atas kehilangan tersebut, kelemahan dan kehinaan sebagai pribadi, kelompok dan bangsa pasti akan kita rasakan.
Lebih – lebih jika alasanya adalah agama, banyak hal yang harus kita baca lagi. Karena jika ditanya salaman selepas idulfitri sunnah atau tidak? Jawabanya tidak ada contohnya dari nabi dan sahabat. Jika ditanya bid’ah atau tidak?, Jawabanya tidak sesederhana itu membid’ahkan, karena tidak semua yang tidak dikerjakan nabi otomatis bid’ah. Apalagi jabat tangan bukanlah ritual ibadah khusus, karena ibadahnya sudah selesai di sholat dan khutbah. Semoga saja bukan karena agama alasanya, aamiin.
Sukoharjo, 2 syawal 1443.
Ust. Tulus Prasetyo