KARENA berbagai peristiwa dalam hidup ini, sebagian masyarakat kita ada yang menjadi yatim, lemah, dan miskin. Mereka harus diperhatikan, dihormati, dan dirawat supaya tidak menjadi beban orang lain, merugikan bangsa, atau menimbulkan masalah kompleks dalam diri mereka. Mereka juga berhak merasakan kehidupan seperti orang lain, baik golongan kaya dan bangsawan ataupun kelas menengah. Inilah pandangan yang penuh belas kasih dan benar, mencerminkan perasaan dan sensitivitas yang tinggi, serta menghargai situasi anggota masyarakat. Al-Quran dan Hadis Nabi berikut ini berbicara tentang hak-hak mereka:
Allah Swt. berfirman, Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja bari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini (QS Al-Kahfi [18]: 28).
Allah Swt. berfirman, Dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman (QS Al-Hijr [15]: 88). Perintah kepada Nabi Muhammad Saw., berarti juga perintah kepada umatnya.
Allah Swt. berfirman, Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta maka janganlah kamu mengbardiknya (QS Al Dhuha [93]:9-10). Larangan bagi Nabi Muhammad Saw., berarti juga larangan bagi umatnya.
Artinya, kita harus sabar hidup bersama kaum lemah yang memohon kepada Tuhannya setiap pagi dan petang, menyembah Allah Swt. setiap waktu, beramal dengan tujuan menggapai keridhaan Allah Swt. dan ikhlas karena-Nya. Nabi Muhammad Saw. diperintahkan untuk tidak memandang mereka dengan sebelah mata. Beliau diperintahkan untuk bersitutur kata dengan santun, ramah, dan bergaul dengan mereka.
Inilah perubahan yang dibawa Al-Quran kepada bangsa Arab. Sudah barang tentu berbeda dengan kebiasaan masyarakat Jahiliyah. Fakta-fakta yang ada dalam sunnah ini jelas mengarah ke sana, menghablur hubungan dengan mereka. Bahwa mereka dengan yang lain. Imam Muslim meriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqqash r.a. berkata, “Kami berenam pernah bersama Nabi Muhammad Saw. Kaum musyrik berkata kepada Nabi, “Usirlah mereka itu agar tidak lancang kepada kami.” Sa’ad berkata, “Yang ada saat itu aku, Ibnu Mas’ud, seorang laki-laki dari Hudzail, Bilal, dan dua orang laki-laki yang tidak aku kenali namanya. Ucapan kaum musyrik itu memengaruhi Nabi dengan izin Allah sehingga beliau berbicara dalam hati. Selanjutnya, turunlah Firman Allah Swt., Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya (QS Al-An’am [6]: 52).”
Ini merupakan sikap yang jelas berbeda antara Nabi dan para pemimpin kaum musyrik Mereka ingin mengacaukan standarisasi kesetaraan dan memunculkan sejumlah kebencian. Akhirnya, Al-Quran membatalkan orientasi mereka. Selain itu, dalam peristiwa yang berbeda, Nabi Muhammad Saw. mencontohkan sikap yang lain bersama Abu Bakar dalam hal berhubungan dengan orang-orang lemah. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hubairah Aidz bin Amru Al-Muzanni bahwa Abu Sufyan mendatangi Salman, Shuhaib, dan Bilal dengan bergerombol, lalu berkata, “Demi Allah, pedang-pedang Allah belum menebas leher musuh Allah.” Abu Bakar berkata, “Inikah yang kalian katakan kepada pembesar dan tokoh Quraisy?” Selanjutnya, Abu Bakar datang menghadap Rasulullah dan menceritakannya: Nabi Muhammad Saw. bersabda kepadanya, “Wahai Abu Bakar, barangkali engkau membuat mereka marah. Jika engkau membuat mereka marah, berarti engkau telah membuat marah Tuhanmu. Kemudian Abu Bakar mendatangi mereka dan berkata, “Wahai saudara-saudaraku, apakah aku telah membuat kalian marah?” Mereka menjawab, “Tidak, semoga Allah mengampuni engkau, wahai saudaraku.”
Hadis ini menjelaskan bahwa orang mukmin dituntut untuk mencintai dan bersikap ramah kepada kaum dhuafa’. Sebab, status sosial orang-orang lemah seperti Salman Al Farisi, Shuhaib Ar-Rumi, dan Bilal Al-Habasyi sederajat dengan para tokoh masyarakat. Etikanya sudah sangat jelas digambarkan oleh sikap Abu Bakar terhadap mereka. Akan tetapi, peringatan tetap diperlukan. Mereka pun menerima pernyataan Abu Bakar yang dilandasi niat baik. Anak-anak yatim termasuk kaum dhuafa’ yang harus diperhatikan, diurus, dan disayangi. Islam menganjurkan mereka dididik dengan baik, disayangi, dan diperlakukan dengan lembut. Islam juga memberitahukan bahwa semua sikap tersebut akan mengantarkan seseorang masuk surga. Imam Bukhari meriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad r.a. bahwa Rasulullah Saw. bersabda, Aku dan penanggung beban hidup anak yatim di surga seperti begini,” sembari menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya, lalu merenggangkannya. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah Saw, bersabda, “Aku dan yang menanggung beban hidup anak yatim di surga seperti ini.” Perawi hadis ini, yaitu Malik bin Anas, memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah. Arahan-arahan hadis ini menunjukkan indikasi yang sangat tegas bahwa Islam adalah agama kesetaraan dalam menilai seseorang. Islam tidak membedakan yang kuat dan yang lemah, yang kaya dan yang miskin, pemimpin dan rakyat. Islam adalah agama Allah Swt. untuk semua manusia. Tidak ada orang yang lebih tinggi dari yang lain karena faktor harta, jabatan, atau keturunan, kecuali karena faktor ketakwaan dan amal salehnya. Allah Swt. berfirman, Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu (QS Al-Hujurat [49]: 13).
Diambil dari Buku Akhlak Muslim karya Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili
(DM)