DI tengah masyarakat dunia ketiga, fenomena perantara atau mediator untuk mencapai tujuan tertentu masih cukup marak. Perantara atau mediator ini terkadang baik, untuk mencapai tujuan yang diperbolehkan agama. Namun, terkadang juga buruk jika merugikan kepentingan orang lain, menyalahi hukum keadilan dan kesetaraan yang harus dijunjung tinggi manusia, baik untuk mendapatkan pekerjaan atau pelayanan. Islam tidak melarang perantara atau mediator, asal tujuannya baik dan tidak merugikan kepentingan orang lain. Sehubungan dengan itu, tidak diperbolehkan memberikan suap atau hadiah, baik sebelum atau sesudah tujuannya tercapai melalui si perantara. Sebab, perbuatan baik harus benar-benar terbebaskan dari manfaat dan tujuan materi. Harus benar-benar dalam rangka menggapai ridha Allah Swt. dan memudahkan jalan bagi kepentingan saudaranya yang sesuai ajaran Islam.
Inilah yang dijelaskan firman Allah Swt. dalam Al-Quran, Barang siapa memberikan syafaat yang baik, niscaya ia akan memperoleh bagian (pahala) daripadanya. Dan barang siapa memberikan syafaat yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian (dosa) daripadanya. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu (QS Al-Nisa’ [4]: 58). Inilah bukti kasih sayang Allah Swt. kepada para hamba-Nya.
Syafaat adalah meminta ampunan dari dosa (thalab al-tajawuz ‘an al-dzanbi), sedangkan zasáthab atau perantara adalah tindakan terpuji untuk membantu mencapai tujuan orang lain. Nah, jika perantaraan ini untuk kebaikan, berarti dibenarkan agama dan termasuk dalam syafaat yang baik. Namun, jika untuk keburukan, berarti dilarang dan tidak dibenarkan agama, serta masuk dalam kategori syafaat yang buruk.
Nabi Muhammad Saw. menganjurkan syafaat yang baik. Sebuah hadis muttafaq ‘alaib dari Abu Musa Al-Asyari r.a. berkata, Apabila Rasulullah Saw, didatangi seseorang untuk suatu keperluan, beliau menghampiri para sahabat yang sedang berkumpul dan berbincang-bincang, lalu bersabda, Berilah syafaat, niscaya kalian akan memperoleh pabala, dan Allah akan memenuhi apa yang Dia suka melalui lisan Nabi-Nya. Dalam riwayat lain disebutkan: Apa yang Dia kehendaki. “Hadis ini mendorong kita untuk menjadi pemberi syafaat yang baik dalam rangka memenuhi kebutuhan orang lain. Syafaat itu akan bernilai pahala, baik berhasil mencapai tujuan atau tidak. Tidak boleh memberikan syafaat untuk budad (sanksi-sanksi yang sudah pasti), seperti pencurian, perampokan, perzinahan, tuduhan zina, dan minuman keras, jika perkaranya sudah sampai ke hakim. Sebab, hakim wajib menjalankan hukum-hukum Allah dan agamanya.
Salah satu contoh nyata syafaat yang baik adalah syafaat Nabi Muhammad Saw, terhadap Barirah, pelayan Aisyah, dan suaminya yang bernama Mughits, seorang budak. Barirah dimerdekakan oleh Aisyah ra. Selanjutnya, Rasulullah Saw, memintanya memilih. Maka, ia pun memilih dirinya. Dengan kata lain, tidak mau bersama suaminya dalam perbudakan. Imam Bukhari menceritakan kisah Barirah beserta suaminya dari Ibnu Abbas ra. berkata, “Rasulullah Saw. bersabda, Bagaimana bila engkau kembali (rujuk) kepadanya?” Barirah menjawab, “Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintahkanku rujuk?’ Beliau menimpali, Aku hanya memberi syafa’at (pertolongan). la berkata, ‘Aku sudah tidak lagi membutuhkan dirinya (Mughits).” Hadis ini menjelaskan bahwa Barirah menggunakan ketentuan agama, yaitu bahwa ia berhak memilih untuk membubarkan perkawinan, jika ia dibebaskan atau merdeka, sementara suaminya tetap menjadi budak. Inilah contoh khiyar al-bulûgh. Menurut jumbur ulama, jika seorang gadis menikah di usia dini, setelah dewasa ia berhak memilih untuk membubarkan perkawinannya.
Syafaat dalam salah satu ketentuan Allah Swt. tidak diterima, dengan alasan menjalankan yang benar, menjunjung tinggi kebenaran, menegakkan keadilan dalam perkara penting, dan menghapus kejahatan agar tidak meluas. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan Imam Ahmad dan lainnya, “Barang siapa syafaatnya menghalangi ditegakkannya salah satu hukum Allah Swt., berarti ia telah melanggar kekuasaan Allah. Barang siapa menolong permusuhan tanpa pengetahuan maka ia senantiasa berada di dalam kemurkaan Allah hingga ia mencabutnya.”
Hukuman qishash (hukuman mati untuk pembunuhan terencana) diperkecualikan dari hudud ini. Memberikan syafaat untuk menggagalkan qishash menjadi diyat dilarang tidaklah dilarang. Sebab, Islam lebih menyukai pengampunan dan pembatalan hukuman. Allah Swt, berfirman, Dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa (QS Al-Baqarah [2]: 237). Sistem syafaat yang baik dan tidak melanggar ketentuan Allah Swt. merupakan manifestasi kerja sama dan solidaritas masyarakat Muslim guna mencari keridhaan Allah Swt. Hal ini menunjukkan bahwa kepentingan seseorang bisa diselesaikan oleh sebagian orang lain. Namun, Allah jualah Zat Yang Maha Menentukan dan Mahakuasa terhadap sesuatu yang Dia kehendaki atau Dia inginkan. Syafaat atau perantaraan menjadi salah satu sebab yang wajar dilaksanakan manusia. Adapun hasilnya diserahkan penuh kepada Allah Swt. Inilah hakikat tawakal. Sebab itu, tawakal menjadi dasar suatu keyakinan, terutama setelah menempuh berbagai cara. Setelah seseorang mengerahkan pikiran dan tenaganya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Jika tujuan itu tercapai, itu berkat karunia dan kebaikan Allah Swt. Namun jika tidak, berarti Allah Swt. menghendaki selain itu.
Diambil dari Buku Akhlak Muslim karya Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili
(DM)