Sekolah Berkarakter yang Tak Berkarakter
Menggelikan memang realita zaman digital. Semua produk bisa dibungkus dengan iklan dan brand dengan sangat mudah. Hingga mudahnya sampai memudahkan kita untuk menyebut produk kita adalah produk terbaik seantero jagat. Tujuannya hanya satu “menarik calon” dan akhirnya closing. Kalau boleh becanda banyak yang mengiklankan “Yang Terhormat Nama Saya” (Judul buku cak nun).
Ternyata trend bungkus juga masuk di dunia pendidikan. Kita sendiri rasakan betapa banyak iklan sekolah yang memakai pola kalimat “Yang Terhormat Nama Saya”. Sekolah unggulan dengan segala kelebihanya dan tak tampak kurangnya di iklan dan media digital sekolahnya. Semuanya serba bagus dan unggul dalam poster dan media.
Sampai pada akhirnya seorang bapak main ke pesantren yang sedang kami rintis membuat pernyataan tentang pendidikan karakter. Beliau berkata “Semua lembaga pendidikan konsepnya menjadikan muridnya berkarakter, namun praktenya jarang diterapkan”. Sontak kami ikut merenung dan berfikir, sepertinya cocok dengan realita yang terjadi.
Seakan karakter yang dijanjinkan di sekolahan hanya sarana iklan untuk menggait murid yang berkarakter. Sehinggan ketika sudah masuk sekolah maka sekolah berkarakternya hilang karena sudah selesai fungsinya di iklan dan branding untuk mencari murid.
Alhamdulillah kami bersyukur Allah kirimkan bapak tersebut ke kami. Seakan Allah ingin menasehatkan pada kami “yang serius dalam mendidik”. Kembali menata niat dalam pendidikan. Kembali mengingatkan bahwa dunia pendidikan tak layak dipermaiankan. Kita boleh beriklan yang luar biasa tentang sekolah dan pesantren kita, namun tanggung jawab menghadirkan pendidikan sesuai dengan yang diiklankan adalah tanggung jawab kita.
Tulus Prasetyo