la telah kehilangan nikmat penglihatan dan menjadi buta. la tidak meronta, mengeluh meminta pertolongan atau bersedih menghadapi kenyataan dirinya. Allah telah menggantinya dengan nikmat retorika dan pemahaman. Sehingga ia menjadi orang yang lebih fasih dan lebih mendalami agama dibandingkan orang yang masih dapat melihat.
Hasan Zahrani menuturkan tentang realita yang ia hadapi. “Aku memuji Allah atas apa yang telah menimpa diriku. Aku tak merasakan ada kekurangan sedikit pun juga. Seluruh keperluanku dapat aku penuhi sendiri. Aku pergi ke masjid dan menghadiri halaqah halaqah tahfizh Al-Quran tanpa ada seorang pun yang menemaniku.
Aku menyelesaikan jenjang pendidikan menengah di Madrasah Ibnu Katsir, Jedah. Teman teman dan para guru menyemangatiku guna mewujudkan cita-citaku untuk mengikuti halagah-halaqah tahfizh. Aku tidak menggunakan metode membaca dengan huruf Braille. Namun, aku menghafal Al-Quran dengan cara mendengar bacaan para guru atau teman-temanku, atau pun melalui kaset rekaman.
Dengan metode seperti ini, aku mampu menghafal Al-Quran 30 juz. Di sekolahku, para guru merasakan potensi dan kemampuan akademikku. Akhirnya, aku diikutsertakan bersama teman temanku yang dapat melihat dengan normal. Aku merasakan bahwa teman-temanku juga memperlakukanku dengan penuh cinta, penghargaan dan penghormatan. Sehingga, aku juga ikut serta dalam semua kegiatan di sekolah maupun di luar sekolah. Hal tersebut kembali kepada keutamaan Al-Quran, kitab Allah yang mulia yang telah memberikan cahaya mata dan hati kepadaku serta mengeluarkan diriku dari kelemahan menuju kondisi lain yang mampu memancarkan cahaya kepadaku di tengah-tengah gelapnya jalan kehidupan.
Diambil dari Buku Kisah inspiratif para penghafal alquran karya Ahmad salim badwilan
(BEGE)