ISLAM memandang masyarakat dalam perspektif keadilan, kebenaran, dan kesetaraan, tanpa membeda-bedakan kekayaan, kepemimpinan, atau garis keturunan. Semuanya hamba Allah Swt. ciptaan-Nya. Allah Swt. telah menciptakan mereka dengan sebaik-baiknya, menyempurnakan mereka dengan sebaik-baiknya, serta menyamakan hak dan kewajiban mereka.
Inilah oritentasi yang adil, baik, dan penuh belas kasih, bahkan begitulah yang benar dan wajib. Karena itu, jika keadaan seseorang memburuk karena kondisi tertentu, status ekonominya rendah, atau cacat moral maka tak seorang pun berhak menyinggung eksistensi kemanusiaan atau status sosialnya. Harta itu bisa datang dan pergi. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat miskin harus diperhatikan. Keprihatinan, kesengsaraan, dan kemelaratan mereka harus mendapatkan kompensasi. Bahkan, keberadaan dan keadaan mereka harus dicari. Jangan menjatuhkan martabat dengan membiarkan mereka meminta-minta.
Allah Swt, berfirman, Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin (QS Al-Ma’un [107]: 1-3). Ayat ini merupakan teguran dan penolakan terhadap orang yang mendustakan agama, yaitu orang yang tidak mau ganjaran dan mengingkari Hari Kebangkitan. Yang dimaksud menghardik anak yatim adalah mengusimnya dengan kekerasan dari mendapatkan haknya, serta tidak menyerukan agar memberi makan fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan.
Berikut ini beberapa hadis Nabi Muhammad Saw. yang memperkuat perintah dan pesan Al-Quran. Sebuah hadis muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah ra. menyebutkan Rasulullah Saw. bersabda, “Orang miskin bukanlah orang yang ditolak ketika meminta sebutir atau dua butir kurma, ataupun yang ditolak ketika meminta sesuap atau dua suap makanan. Akan tetapi, yang disebut orang miskin itu adalah yang menjaga kesucian dirinya.”
Dalam riwayat lain dalam Ash-Shahihain berbunyi: “Orang miskin itu bukanlah yang berkeliling ke sana kemari dengan harapan diberi orang sesuap atau dua suap makanan, sebutir atau dua butir kurma. Akan tetapi, orang miskin itu adalah orang yang tidak menemukan kepuasan atas kekayaannya, tidak pula orang banyak mengetahui ibwal mereka hingga diberi sedekab, serta bukan orang yang selalu meminta-minta kepada manusia.”
Hadis ini mengecam perbuatan mengemis. Selain itu, menganjurkan untuk menjaga kesucian diri, sebagaimana dinyatakan dalam ayat: Orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta (QS Al-Baqarah [2]: 273).
Menyikapi kecaman tersebut maka harus dilakukan pencarian terhadap orang miskin yang menjaga kesucian dirinya dan tidak mengemis, kemudian memenuhi kebutuhan mereka. Sebab, mereka telah menjaga martabat kemanusiaannya, juga menjaga kehormatan dan kedudukannya sebagai seorang mukmin dengan berusaha keras untuk tidak jatuh dalam kenistaan dan kehinaan.
Mungkin sebagian orang menilai aneh, karena Islam menganggap orang yang mengamati keadaan kaum miskin seperti pejihad di jalan Allah Swt., yang bangun malam dan beribadah, serta rajin berpuasa. Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dalam Ash-Shahihain dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Orang yang berusaha memenuhi kebutuhan janda atau orang miskin, seperti orang yang berjihad di jalan Allah.” Aku (Abu Hurairah) mengira beliau juga bersabda, “Dan juga seperti orang yang tidak pernah letib melakukan shalat malam, juga seperti orang yang berpuasa dan tidak pernah berbuka.”
Melalui lisan Rasulullah Saw., Islam membuat sebuah gerakan sosial yang menganjurkan kesetaraan dalam segala hal, termasuk dalam resepsi pernikahan dan sebagainya. Imam Muslim dalam Al-Shahih meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Seburuk-buruk makanan adalah makanan pesta perkawinan, di mana yang berkeinginan datang tidak diundang, sedangkan yang tidak berkeinginan justru diundang. Siapa saja yang tidak memenuhi undangan pesta perkawinan maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Riwayat lain dalam Ash-Shabibain dari Abu Hurairah ra. berbunyi: “Seburuk-bur makanan adalah makanan pesta perkawinan, jika yang diundang hanyalah orang-orang kaya sedangkan orang-orang fakir tidak diundang.”Inilah perhatian terhadap kaum miskin, kasih sayang terhadap mereka, dan larangan memuliakan seseorang karena kekayaannya. Memenuhi undangan pesta perkawinan hukumnya wajib, sedangkan untuk acara yang lain hukumnya sunnah, jika tidak ada uzat atau tidak mengandung unsur kemungkaran, seperti minuman beralkohol dan permainan yang diharamkan.
Islam melarang kita memperhatikan anak laki-laki dan mengesampingkan anak perempuan. Imam Muslim meriwayatkan dari Anas r.a. dari Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Siapa saja mengurus dan mendidik dua anak perempuan hingga mereka dewasa maka ia dan akan datang di Hari Kiamat seperti ini (beliau merapatkan jari-jemarinya).”
Dalam hadis muttafaq ‘alaib dari Aisyah r.a. berkata, “Aku kedatangan seorang ibu miskin yang membawa kedua anak perempuannya. Ibu itu mengemis. Aku tidak memiliki apa apa, kecuali satu butir kurma. Kurma itu pun kuberikan kepadanya. Ibu itu membagi satu kurma tersebut kepada kedua anaknya. Akhirnya, ia tidak kebagian memakannya. Setelah itu, perempuan tersebut bangun dan pergi. Tidak lama berselang, Nabi Muhammad Saw. menemui kami. Kuceritakan hal itu kepadanya. Beliau bersabda, ‘Siapa saja diuji sesuatu dari keadaan perempuan ini, kemudian ia berbuat baik kepada mereka maka anak perempuan itu akan menjadi penghalang baginya dari sentuhan api neraka.”
Dalam riwayat Imam An-Nasa’i dengan sanad jayyid disebutkan bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda, “Ya Allah, sesungguhnya aku menganggap berdosa bagi orang yang menyia nyiakan hak dua orang lemah, yaitu: anak yatim dan perempuan.” Maksudnya, Rasulullah Saw. menganggap penelantaran kaum wanita dan anak yatim sebagai tindakan berbuah dost Peringatan beliau terhadap hal itu cukup keras. Imam Abu Daud meriwayatkan hadis dengan sanad jayyid dari Abu Darda’ Uwaimir r.a. berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda. ‘Carikan untukku orang-orang yang lemah, karena sesungguhnya kamu mendapatkan pertolongan dan rezeki berkat orang-orang lemah di sekitarmu.”
Diambil dari Buku Akhlak Muslim karya Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili
(DM)