BERBAGAI upaya dan mediasi untuk mendamaikan manusia adalah tindakan yang disukai dan berpengaruh dalam mencapai tujuan mulia. Juga merupakan tindakan yang sangat efektif daripada cara-cara paksa dengan kekerasan. Sebab, dampak kekerasan akan cepat hilang, sedangkan cara-cara yang baik akan berlangsung lama menyingkirkan segala kebencian dalam hati, mengandalkan cara-cara kompromi, menghormati semua pihak yang berselisih, mencari kesepahaman, menunjukkan sikap toleransi dan keramahan, mengampuni pelaku kesalahan di depan pihak lain sehingga membuat jiwa menjadi bersih dan lembut. Islam mendorong kita untuk menciptakan kedamaian dengan segenap maknanya di tengah masyarakat. Al-Quran memerintahkan dan menganjurkan memilih perdamaian sebagai cara paling baik ketimbang kekerasan dan cara-cara brutal.
Allah Swt. berfirman, Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia (QS Al-Nisa’ [4]: 114).
Allah Swt. berfirman, Dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) (QS Al-Nisa’ [4]: 128).
Allah Swt. berfirman, Sebab itu, bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di
antara sesamamu (QS Al-Anfal [8]: 1).
Allah Swt. berfirman, Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. Karena itu, damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat (QS Al-Hujurat [49]: 10).
Ayat-ayat ini mungkin menjelaskan perdamaian sebagai pilihan terbaik, atau mungkin juga memerintahkan perdamaian secara terang-terangan. Sebab, perdamaian sebuah keniscayaan, menghilangkan bahaya, dan menyingkirkan berbagai konflik dan kontroversi yang tidak berkesudahan.
Hadis Nabi juga menegaskan pentingnya perdamaian. Lebih dari itu, menginformasikan pahala, keutamaan, dan dampaknya yang baik. Sebuah hadis muttafag’alaih dari Abu Hurairah r.a. menyebutkan Rasulullah Saw. bersabda, “Setiap persendian manusia wajib disedekahi, setiap bari ketika matahari terbit: mendamaikan antara dua orang (yang berselisih) adalah sedekah membantu seseorang yang kendaraannya bermasalah hingga bisa dinaiki, atau menaikkan barang barang bawaannya ke atas kendaraan adalah sedekah; (mengucapkan) kalimat yang baik adalah sedekah; setiap langkah ke masjid untuk menunaikan shalat adalah sedekah; dan menyingkirkan bahaya dari jalan adalah sedekah,”
Hadis ini menjelaskan kewajiban mensyukuri nikmat Allah Swt. dengan cara bersedekah. Bersyukur itu ada dua macam: Pertama, syukur yang dihukumi wajib, yaitu melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan. Kedua, syukur yang dihukumi sunnah, yaitu dengan melaksanakan ibadah nafilah, seperti berzikir, atau melakukan sesuatu yang berguna bagi orang lain, seperti menolong dan bersikap adil.
Untuk memudahkan seorang juru damai, Islam memberikan keringanan dengan membolehkannya berbohong untuk kepentingan perdamaian, guna merekatkan berbagai pandangan guna mewujudkan kepentingan yang lebih besar. Imam Bukhari dan Imam Muslim sepakat dalam satu riwayat dari Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abi Mu’aith r.a. berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda, ‘Bukanlah termasuk pembohong orang yang mendamaikan manusia, selama ia mendamaikan mereka dengan adil dan berkata baik.” Sementara itu, dalam riwayat Muslim terdapat tambahan bahwa Ummu Kultsum berkata, “Tidak pernah aku mendengar Nabi Muhammad Saw membolehkan berbohong, kecuali dalam tiga hal, yaitu: dalam peperangan, mendamaikan manusia, suami yang berbohong kepada istrinya dan istri yang berbohong pada suaminya. Dengan kata lain, pada dasarnya berbohong itu hukumnya haram, kecuali pada tiga kondisi di atas, karena membuahkan kepentingan yang besar. Bahkan, berbohong terkadang dihukumi wajib manakala dilakukan untuk menjaga manusia dari kehancuran.
Salah satu upaya yang ditempuh Nabi Muhammad Saw. dalam menciptakan perdamaian dijelaskan dalam hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Aisyah r.a. berkata, “Rasulullah Saw, mendengar suara pertengkaran di pintu, Suara mereka berdua terdengar keras sekali. Yang satu menagih utang, dan yang lain meminta belas kasihan. la berkata, “Demi Allah aku tidak bisa melakukannya. Rasulullah pun keluar menemui mereka dan bersabda, ‘Mana yang berjanji atas nama Allah, yang katanya tidak bisa melakukan kebaikan. Orang itu menjawab, Aku, wabai Rasulullah.” Maksudnya, Nabi Muhammad Saw. mendengar sengketa di antara dua orang. Dalam kesempatan itu, seorang yang berutang meminta keringanan, tetapi si pengutang bersumpah bahwa ia tidak bisa melakukan. Melihat hal itu, Nabi Muhammad Saw. merasa prihatin. Beliau bersabda, “Mana yang berjanji atas nama Allah, yang katanya tidak bisa melakukan kebaikan?” Pernyataan merupakan bentuk penolakan keras dan kecaman bagi orang yang bersumpah untuk tidak melakukan perbuatan baik. Rasulullah Saw. mendorong si pengutang memberikan keringanan pada yang berutang. Nah, hadis ini berisi seruan mengasihi orang yang berutang, berbuat baik kepadanya dengan membebaskan sebagian utangnya. Selain itu, mengecam sumpah untuk tidak berbuat kebaikan, serta ajakan untuk mendamaikan pihak yang bersengketa. Menerima perdamaian adalah bukti toleransi, ramah terhadap orang lain, salah satu indikator keluhuran dan kehormatan, bukan tanda kelemahan dan kehinaan. Ini tidak benar. Sebab, “Sikap toleran adalah moral paling tinggi.”
Diambil dari Buku Akhlak Muslim karya Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili
(DM)