MANUSIA tidak bisa hidup sendirian di alam semesta ini. Pada dasarnya, manusia adalah bergantung pada lingkungan, senang hidup dengan orang lain, senang berkumpul dalam komunitas, baik sedikit maupun banyak, suka menyenangkan orang lain, senang berbincang dengan mereka, bercengkerama tentang berbagai aktivitas kehidupan, baik ekonomi dan sosial, pendidikan dan pengajaran serta budaya, pertahanan dan politik. Setiap orang ingin menggapai kesuksesan, kedamaian, dan berbagi pengalaman saat sharing dengan yang lain. Namun, jika terjadi malapetaka besar maka lebih baik menghindar. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Imam Abu Dawud dari Al-Miqdad bin Al-Aswad berkata, “Orang bahagia adalah orang yang dijauhkan dari malapetaka. Orang bahagia adalah orang yang dijauhkan dari malapetaka. Dan, orang bahagia adalah orang yang dijauhkan dari malapetaka.”
Jika kita perhatikan, orang mukmin yang membawa misi perbaikan dalam masyarakat, dai yang mengajak menuju kebenaran dan pencerahan, dan yang membimbing orang lain, itu lebih baik dari matahari yang terbit dan terbenam. Ia adalah pioner yang mengajak pada keyakinan yang benar, akhlak yang mulia, ibadah yang lurus, serta perbaikan yang sempurna terhadap individu dan masyarakat. Jika kita perhatikan makna ini maka pembauran sangat diperlukan dan berguna guna mencapai tujuan dari dakwah di jalan Allah Swt.
Semua ini jika dalam kondisi normal, di mana tidak terjadi malapetaka atau sesuatu yang serius dan mengharuskan kita mengisolasikan diri. Sebab, bisa jadi isolasi merupakan tindakan utama. Yang berbaur dengan orang lain itu lebih baik dari yang mengisolasi diri tanpa alasan yang penting, karena agama kita adalah agama sosial, bukan agama yang mengajarkan isolasi diri di biara-biara, kuil, atau masjid.
Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Orang Muslim bila berbaur dengan orang lain dan bersabar atas perlakuan mereka yang tidak baik itu lebih baik dari orang Muslim yang tidak berbaur dengan orang lain dan tidak sabar atas perlakuan mereka yang tidak baik.” Menurut Imam Tirmidzi, hadis ini bermakna: berbaur dengan orang lain dengan bersabar menghadapi tindakan mereka yang tidak menyenangkan itu lebih baik daripada tidak berbaur.
Sementara itu, Imam Al-Nawawi mengartikannya dalam Riyadh As-Shalihin sebagai berikut: keutamaan bergaul dengan orang lain, menghadiri perkumpulan dan kelompok mereka, melihat kebaikan, berbincang dengan mereka, menjenguk mereka yang sakit, melayat mereka yang meninggal, membantu kebutuhan mereka, membimbing mereka yang bodoh, dan hal-hal positif lainnya bagi seseorang yang mampu menyuruh kebaikan dan mencegah kemungkaran, menahan diri dari menyakiti orang lain, dan bersabar apabila disakiti.
Lebih lanjut Al-Nawawi mengatakan; perlu diketahui bahwa berbaur dengan orang lain yang telah disebutkan di atas merupakan tindakan Rasulullah Saw. dan para nabi lainnya, juga para Khulafa’ Ar-Rasyidin, sahabat dan tabi’in, serta para ulama Islam dan tokoh-tokoh terkemuka. Inilah pendapat yang dianut sebagian besar tabi’in dan generasi setelah mereka, juga dianut Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan mayoritas ahli fiqih. Allah Swt. berfirman, Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa (QS Al-Maidah [5]: 2).
Yang dimaksud kebajikan (birr) adalah kebaikan (khair), sedangkan yang dimaksud takwa adalah melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan. Ayat-ayat dalam pengertian seperti ini jumlahnya sangat banyak. Keterangan ini cukup jelas bahwa menjauhi orang lain tanpa alasan penting atau kebutuhan mendesak tidak bernilai kebaikan, juga tidak mengandung keberkahan. Berbaur dengan orang lain dapat membentuk kepribadian Muslim yang baik dan membuat jiwa sosialnya tentram. Selanjutnya, muncul komitmen untuk memberikan nasihat dan perbaikan, meluruskan yang bengkok, mengajak pada kebenaran, kebaikan, dan keesaan Allah Swt., membenahi etika dan akhlak, melawan penyimpangan dan kesesatan. Berbaur mesti memiliki aspek kecerdasan dan pengalaman, berbekal ilmu, pengetahuan dan etika sosial, serta mampu mewujudkan tujuan dari misi Islam.
Memperbaiki masyarakat adalah tugas para rasul dan para nabi. Dan, para ulama adalah generasi pewaris mereka. Perbaikan, pelaksanaan perintah Allah Swt. dan penyampaian wahyu-Nya, penjelasan kandungan kitab-kitab samawi serta pesan-pesan Ilahi tidak akan berjalan mulus tanpa pembauran yang bersih dan suci, yang menjaga agama, kewibawaan, kesalehan, dan kemuliaan manusia. Jika seseorang sering berbaur, namun tidak bisa memilah milah akhlak yang baik dan yang buruk, ajaran Allah Swt. dan dorongan hawa nafsu, berarti pembaurannya tidak diperbolehkan. Tidak boleh ikut dalam hal-hal yang menyimpang. Tidak boleh tenggelam dalam selera masyarakat. Tidak boleh mendiamkan perbuatan dosa, kemungkaran, dan kesesatan. Allah Swt. berfirman, Sesungguhnya beruntunglah orang orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna (QS Al-Mu’minun [23]: 1-3).
Allah Swt. berfirman, Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini) maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang lalim itu sesudah teringat (akan larangan itu) (QS Al-An’am [6]: 68).
Diambil dari Buku Akhlak Muslim karya Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili
(DM)