Di zaman yang seperti sekarang ini, sangat diperlukan oleh semua umat manusia sebuah pedoman. Pedoman tersebut menjadi sebuah landasan, sehingga hidup menjadi teratur. Sebagai hamba Allah SWT dan umat Rasulullah SAW tentu saja kita mempunyai Al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Tetapi lain halnya bagi orang awwam yang belum dibekali ilmu sehingga tidak mengetahuinya. Sehingga mereka akan mengikuti orang-orang yang mereka anggap benar, tanpa mengetahui alasannya. Sama halnya dengan taqlid.
Ditinjau dari bahasa, taqlid berarti meletakkan sesuatu di leher dengan melilitkan padanya seperti tali kekang. Sedangkan menurut istilah, berarti mengikuti perkataan orang yang perkataannya bukan hujjah. Yang dimaksud hujjah disini maksudnya sumber asli syariah yang telah disepakati seperti Al-Quran, As-Sunnah, dan Al-Ijma Atau bisa juga diartikan sebagai mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber atau alasannya. Tetapi ada juga beberapa pendapat oleh ulama tentang taqlid.
Setelah mengetahui definisi atau pengertian dari taqlid, dalam lembaran tugas ini akan dibahas tentang macam-macam taqlid, pendapat ulama-ulama tentang taqlid, kapan diperbolehkan taqlid, dan sebagainya.
Macam-macam Taqlid
Taqlid terdiri dari dua macam, yaitu umum dan khusus
Kita sebagai umat muslim diwajibkan untuk mengikuti dalil dan sebaiknya tidak melakukan taqlid. Tetapi ada juga kondisi dimana seseorang diperbolehkan untuk taqlid, yaitu orang awwam yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum syariat. Ia boleh mengikuti pendapat orang yang mengerti dan mengamalkannya.
Atau bisa juga tidak terlihat bagi orang yang taqlid itu kebenaran dan ia pun tidak mengetahui pendapat lainnya yang lebih kuat. Jadi orang yang taqlid hanyalah mengikuti orang yang ia ketahui jelas benarnya.
Adapun orang yang mengerti dan sanggup mencari sendiri hukum-hukum syari’at, maka harus berijtihad sendiri. Tetapi bila waktunya sudah sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakan yang lain (dalam persoalan ibadah) maka menurut suatu pendapat boleh mengikuti pendapat orang lain.
Adapun taqlid yang diharamkan, yang pertama adalah taqlid kepada seseorang tanpa memandang Al-Qur’an dan sunnah. Mengikuti perbuatan atau perkataan seseorang dengan tidak mencari referensi atau sumber dari Al-Qur’an maupun Sunnah.
Yang kedua adalah taqlid kepada seseorang yang tidak diketahui kemampuannya berijtihad. Mengikuti perbuatan atau perkataan seseorang yang bukan merupakan seorang mujtahid atau bahkan belum pernah berijtihad
Menurut Ustadz Ahmad Sarwat, Lc .,MA, ada juga taqlid yang diwajibkan, yaitu diwajibkan kepada orang awam yang sama sekali belum mengerti agama, agar taqlid kepada para mujtahid yang telah berijtihad. Karena diharamkan bagi seseorang yang tidak memenuhi syarat sebagai mujtahid untuk melakukan ijtihad fiqh.
Pendapat Ulama Terhadap Taqlid
Semua Ulama sepakat bahwa semua kaum Muslimin wajib berpegang teguh pada al-Qur`ân dan Sunnah. Demikian juga wajib mengembalikan segala permasalahan yang diperselisihkan kepada keduanya, serta menolak semua pendapat yang menyelisihi keduanya.
Para imam juga menegaskan kepada para pengikutnya untuk mengikuti dalil, dan tidak melakukan taqlid.
Imam Abu Hanifah rahimahullah Beliau mengatakan,
لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ أَنْ يَأْخُذَ بِقَوْلِنَا مَا لَمْ يَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ أَخَذْنَاهُ
“Tidak boleh bagi seorangpun berpendapat dengan pendapat kami hingga dia mengetahui dalil bagi pendapat tersebut.”
Diriwayatkan juga bahwa beliau mengatakan,
حَرَامٌ عَلَى مَنْ لَمْ يَعْرِفُ دَلِيْلِيْ أَنْ يُفْتِيَ بِكَلَامِيْ
“Haram bagi seorang berfatwa dengan pendapatku sedang dia tidak mengetahui dalilnya.”
Imam Malik bin Anas rahimahullah Beliau mengatakan,
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أَخْطِئُ وَأُصِيْبُ فَانْظُرُوا فِيْ رُأْيَي فَكُلُّ مَا وَافِقُ الكِتَاب ِوَالسُّنَّةُ فَخُذُوْهُ وَكُلُّ مَا لَمْ يُوَافِقُ الكِتَابِ وَالسُّنَّةُ فَاتْرُكُوْهُ
“Aku hanyalah seorang manusia, terkadang benar dan salah. Maka, telitilah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan al-Quran dan sunnah nabi, maka ambillah. Dan jika tidak sesuai dengan keduanya, maka tinggalkanlah.” (Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlih 2/32).
Beliau juga mengatakan,
لَيْسَ أَحَدٌ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا وَيُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيَتْرُكُ إِلَّا النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Setiap orang sesudah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat diambil dan ditinggalkan perkataannya, kecuali perkataan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlih 2/91).
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah Beliau mengatakan,
إِذَا وَجَدْتُمْ فِيْ كِتَابِيْ خِلَافٌ سُنَّةُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُوْلُوْا بِسُنَّةِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدَعُوْا مَا قُلْتُ
“Apabila kalian menemukan pendapat di dalam kitabku yang berseberangan dengan sunnah rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ambillah sunnah tersebut dan tinggalkan pendapatku.” (Al-Majmu’ 1/63).
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah Beliau mengatakan,
لَا تُقَلِّدُنِيْ وَلَا تُقَلِّدْ مَالِكَا وَلَا الثَّوْرِي وَلَا الأَوْزَاعِي وَخُذْ مِنْ حَيْثُ أَخَذُوْا
“Janganlah kalian taklid kepadaku, jangan pula bertaklid kepada Malik, ats-Tsauri, al-Auza’i, tapi ikutilah dalil.” (I’lam al-Muwaqqi’in 2/201;Asy-Syamilah,).
Kebanyakan ulama’ Ushul Fiqh mengatakan bahwa mereka yang tidak berkeupayaan untuk berijtihad wajib mengikuti dan mengambil pendapat atau fatwa dari para mujtahid.
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan mengenai sebab-sebab para ulama melarang taqlid, yaitu :
Semua Ulama sepakat bahwa semua kaum Muslimin wajib berpegang teguh pada al-Qur`an dan Sunnah. Demikian juga wajib mengembalikan segala permasalahan yang diperselisihkan kepada keduanya, serta menolak semua pendapat yang menyelisihi keduanya.
Dan hendaknya kita memiliki pedoman atau acuan dalam beribadah dan melakukan semuanya, sehingga kita terhindar dari taqlid, atau mengikuti tanpa mengetahui dalil.
©fififatika