Rumangsa Melu Handarbeni, Wajib Meli Angrungkebi.
Pepatah jawa yang menjadi judul diatas konon dipakai oleh Sulatan Agung Mataram sebagai filosi dasar dalam memimpin rakyatnya. Secara harifiah diartikan ikut merasa memiliki dan wajib ikut membela dan menjaga. Ikut memiliki apa yang dimiliki bersama dan ikut menjaga apa yang menjadi kepentingan bersama, yakni kerajaan dan apa yang ada di dalam tatananya. Semangat ini dibangun atas dasar meningkatkan keterlibatan anggota masyarakat dalam tata kelola organisasi besar yang disebut kerajaan.
Peran pemimpin dilihat dari kontek ini sangat luas dan lebih dari sekedar jabatan. Ketika pemimpin mengajak anggotanya untuk rumangsa “merasa” ia harus bersedia menempuh jalan diluar jalan formal pakem organisasi. Karena wilayah rumangsa ini wilayah spiritual, wilayah internal. Pemimpin membangun rasa agar siapapun yang dipimpin ikut merasa bahwa proyek besar ini milik kita, milik mereka bukan hanya milik pemimpin. Pemimpi yang tulus berkata, ini milikmu bukan miliku.
Setelah anggota merasakan ini milik kita, ini milik bersama, ini agenda kebersamaan kita, barulah pemimpin menuntut kewajiban untuk ikut menjaga dan ikut membela.
Jika lelaku yang pertama sudah tumbuh, sudah ijo, barulah lelaku kedua dituntut dan diikhtiarkan. Rumangsa adalah level rasa sedang wajib adalah level materi, karena membela dan menjaga butuh pengorbanan, siap korban harta, tenaga, dan nyawa.
Saya memprasangkai bahwa gagal amal dalam urusan rasa dan kewajiban inilah yang membuat gagal kepemimpanan kita. Seringnya kita tak urut, tak tahu mana yang didahulukan, tak paham, bahkan tak mau belajar. Target yang jelas tanpa kemampuan olah rasa dan olah kewajiban adalah khayalan belaka. Karena tak mungkin pemimpin mencapai target sendiri bukan?, kalaupun mungki maka ia bukan pemimpin orang banyak, melainkan baru dilevel pemimpin diri sendiri untuk mencapai target diri sendiri.
Menumbuhkan rasa adalah tugas keibuan sedang menegakan kewajiban adalah tugas kebapakan. Pemimpin dalam kontek ini harus lengkap, punya sisi feminim dan punya sisi maskulin, dia bisa berperan sebagai ibu yang menumbuhkan rasa sekaligus tahu kapan berperan sebagai bapak yang menegakkan kewajiban. Karena jika hanya keibuan atau kebapaan saja kurang lengkap, sudah baik tapi belum lengkap.
Kepemimpinan tanpa membangun rasa adalah kepimpinan yang rapuh. Ibarat pohon yang besar tanpa akar yang kuat. Sedang kepemimpinan tanpa menegakan kewajiban adalah kepemimpinan yang mandul. Ibarat bonsai, akarnya banyak tapi tidak tumbuh.
Lalu dari mana kita mulai? Membangun rasa atau kewajiban?. Saya rasa kalimat nabi yang mengulang kata ibumu, ibumu, ibumu, baru bapakmu mengisyartkan hal tersebut. Namun sekali lagi tidak ada pakem baku dalam kepemimpinan kecuali satu pakem, yakni kalimat umar yang dicintai rakyatnya, ia berkata “belajarlah sebelum jadi pemimpin.”
Tulus Prasetyo
1 Comment
[…] Baca juga : Pemimpin Yang Menumbuhkan Rasa […]