Kepemimpinan identik dengan ambisi atau kemauan. Kemauan memiliki tingkatan yang berbeda – beda setiap orang. Ada kemauan untuk dirisendiri, ada kemauan untuk kelurga, ada kemauan untuk masyarakat, dan ada kamuan untuk negara, bahkan kemauan untuk dunia atau alam. Gambaran kemauan ini dalam bahasa menejemen modern diistilah dengan visi. Maka munculah istilah visi diri, visi organisasi, visi masyarakat, dan seterusnya.
Kepemimpinan juga identik dengan kemampuan. Kemampuan untuk mengerahkan apa yang dimiliki ataupun belum dimiliki untuk mencapai sesuatu yang diinginkan. Kemampuan ini ada yang diberi oleh Allah berupa potensi atau gawan bayi, dan sebagian ada yang didapat dari pengalaman, dan sebagaian lagi ada yang didapat dari pendidikan. Kemampuan juga bertingkat – tingkat dan berjenis – jenis.
Pemimpin jika dilihat dari kemauannya dan kemampuannya bisa dibedakan menjadi empat macam. Pertama yang berkemauan (bervisi) dan berkemampuan. Kedua yang berkemauan dan tidak berkemampuan. Ketiga tidak berkemauan tapi berkemampuan. Keempat tidak berkemauan dan tidak berkemampuan. Dari keempat tipe tersebut semua bisa menjabat atau menduduki kursi tertentu, entah karena direbut, atau dikasih, atau nemu, atau kejatuhan pulung. Namun kemauan dan kemampuanya akan terasa juga kelak di kemudian hari.
Dalam ilmu nubuwah, kita bisa bersama mentadabburi kepemimpinan dan kemampuan dari kisah Abu Dzar al-Ghifari radhiallahu ‘anhu. Ia berkata pada nabinya, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku sebagai pemimpin?” Mendengar permintaanku tersebut, beliau menepuk pundakku seraya bersabda: يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنَّكَ ضَعِيْفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ
“Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu adalah amanat.
Jika dilihat dari kualitas ilmunya kita sama – sama tahu keutamaan sahabat Abu Dzar. Keilmuanya mungkin bisa membuatnya berkemauan atau bervisi. Namun lagi – lagi ini masalah kepemimpinan, Rasul lebih paham tentang kemampuan Abu Dzar.
Sampai disini tersadarlah kami. Sebesar apa kemauanya dan sebesar apa kemampuanya. Visi – visi besar tanpa kekuatan besar hanyalah pajangan. Sudah bagus punya visi, sudah baik berkemauan, tapi belum cukup. Tarbiyah diri dan tarbiyah umat adalah salah satu solusinya. Barangkali kita menemukanya kelak dalam jalan – jalan panjang ini. Pribadi yang berkemauan dan berkemampuan. Atau jangan – jangan itu Anda? Wa Allhu ‘Alam.
Tulus Prasetyo