MANUSIA terkadang melakukan kesalahan, kekhilafan, penyimpangan, dan kelalaian yang tidak disengaja. Oleh sebab itu, orang lain tidak dibenarkan mencela dan membeberkan kesalahan-kesalahan tersebut hingga menjatuhkan martabat yang bersangkutan. Etika yang baik adalah justru menyembunyikannya. Jika seseorang melakukan kesalahan, tidaklah pantas ia membicarakan dan membeberkan kelakukannya di malam hari secara diam-diam Sebaliknya, ia harus bersyukur kepada Allah Swt. yang menutupi kesalahannya dan tidak diperlihatkan. Di samping itu, seseorang juga tidak boleh mencaci orang yang divonis berbuat salah, atau memberondong dengan segudang cacian, makian, dan umpatan. Atau, mengucapkan, “Semoga Allah memusnahkanmu.” Semua kesalahan ini mendatangkan siksa atau hukuman bukan pada tempatnya. Oleh karena itu, Allah Swt. memperingatkan orang-orang yang suka menebar rumor atau kata-kata kotor terhadap pelaku kesalahan dalam firman-Nya, Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat (QS Al-Nür [24]: 19).
Dengan kata lain, orang yang membeberkan perbuatan buruk tanpa keperluan, ia pantas mendapatkan siksaan yang pedih dan menyakitkan di dunia ini dan di akhirat. Larangan membeberkan berita buruk dan propaganda jahat yang tidak ada berguna ini sangat jelas. Hadis berikut ini menganjurkan kita agar menutupi rahasia yang tidak boleh dibeberkan, atau mengucapkan hal-hal yang tidak ada manfaatnya. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. dari Nabi Muhammad Saw, bersabda, “Tidak ada seorang hamba yang menutupi aib temannya, kecuali Allah akan menutupi segala aibnya pada Hari Kiamat.” Maksudnya, balasan menutupi kesalahan seseorang yang tidak disengaja, yaitu dengan tidak membeberkannya, kelak Allah Swt. akan menutupi kesalahan orang tersebut. Artinya, bisa jadi Allah Swt. menghapus dosanya. Bisa jadi pula Allah Swt. menutupi hingga tak seorang pun mengetahuinya.
Sebuah hadis muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa aku pernah mendengar Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Semua umatku selamat, kecuali orang yang mujaharah (terang-terangan berbuat dosa). Dan yang termasuk mujaharah adalah yang melakukan perbuatan dosa di malam hari, kemudian di pagi harinya berkata, “Hai fulan, semalam saya berbuat ini dan itu. Padahal, Allah Swt. telah menutupi dosa yang dilakukan semalam, tetapi ia justru menyingkap tirai Allah tersebut.” Hadis ini menjelaskan betapa besar dosa orang yang membeberkan kesalahan yang diperbuat. Tindakan seperti itu mengundang murka Allah Swt. Orang seperti ini berarti tidak mengindahkan perasaan orang lain, merusak kesucian yang berlaku di masyarakat, serta melecehkan agama.
Hal ini ditegaskan lagi oleh hadis lain tentang larangan omong kosong atau bicara berlebihan. Dalam hadis sahih dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi Muhammad Saw. bersabda, Jikalau seorang hamba sahaya wanita nyata-nyata berzina maka cambuklah ia sesuai dengan hal yang ditentukan dan jangan mengolok-oloknya. Kemudian jika ia berzina lagi maka cambuklah ia sebagai hal-nya dan jangan mengolok-oloknya. Selanjutnya, jika ia masih berzina untuk ketiga kalinya maka hendaklah ia dijual saja, sekalipun seharga seutas rambut.” Dengan kata lain, hukuman bagi pelaku zina bertujuan untuk mendidik dan mengajaknya kembali ke jalan yang benar. Jika pemilik ingin menjualnya maka ia harus menjelaskan kekurangannya kepada si pembeli. Sebab, menjelaskan kekurangan hukumnya wajib, tentu saja jangan sampai berlebihan.
Demikian pula dengan orang merdeka, sebagaimana disitir hadis riwayat Imam Al Bukhari dari Abu Hurairah r.a. bahwa seorang laki-laki yang menenggak minuman keras dihadapkan kepada Nabi Muhammad Saw. Abu Hurairah berkata, “Di antara kami ada yang memukul orang itu dengan tangannya, ada yang memukul dengan sandalnya, bahkan ada yang memukul dengan pakaiannya.”Setelah orang itu pergi, sebagian orang berkata, “Semoga engkau dihinakan Allah.”Beliau bersabda, “Jangan berkata begitu. Janganlah kalian memberikan
pertolongan kepada setan untuk menggodanya lagi.” Maksudnya, penenggak minuman keras boleh dijatuhi hukuman cambuk dengan tangan, pakaian, sandal, dan pelepah kurma. Akan tetapi, jangan mengutuknya, karena dengan begitu ia membantu setan. Doakan ia agar mendapat hidayah, kebenaran, dan selamat dari kehinaan. Ungkapan-ungkapan yang tidak disertai umpatan atau cacian tersebut dapat memacu pelaku maksiat untuk meninggalkan perbuatan dosa.
Begitulah arahan dan pendidikan Nabi Muhammad Saw., yaitu fokus pada menjatuhkan hukuman dengan tidak menggembar-gemborkan, mencaci, atau mengumpat pelakunya. Begitulah Islam dalam bermuamalah dan menjatuhkan sanksi hukum; melebih-lebihkan, serta menyesuaikan dan menerapkan keadilan antara tindakan dan hukuman. Sudah selayaknya kita menghiasi diri dengan akhlak luhur seperti ini, yang sangat kontras dengan yang terjadi di zaman sekarang, di mana pelaku kesalahan dihujani berbagai cacian, makian, dan kutukan.
Diambil dari Buku Akhlak Muslim karya Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili
(DM)