ALLAH Swt. memerintahkan kita supaya berbakti kepada orangtua. Sebaliknya, melarang kita mendurhakai mereka. Selain itu, memerintahkan kita supaya menjalin Silaturahmi, dan larangan memutusnya. Dengan begitu, struktur keluarga jadi lebih kokoh. Solidaritas antaranggota keluarga terjalin, sesuai yang diridhai Allah Swt. Bahkan, Islam sangat toleran terhadap seluruh bangsa demi bakti dan memuliakan rahim wanita sebagai bagian dari bangsa itu sendiri. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Dzarr r.a. bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Kalian akan membuka suatu wilayah yang di dalamnya Qirath” disebut-sebut.” Dalam riwayat lain berbunyi: “Kalian akan membuka Mesir, yaitu sebuah tempat yang di dalamnya Qirath disebut-sebut. Karena itu, mintalah nasihat pada penduduknya tentang kebaikan. Sebab, mereka memiliki perjanjian dan rahim.” atau beliau mengatakan “Perjanjian dan shihr (kekerabatan karena perkawinan).”
Menurut para ulama, yang dimaksud rahim adalah Hajar, ibunda Nabi Ismail a.s. Adapun yang dimaksud kekerabatan karena perkawinan adalah Mariyah, ibunda Nabi Ibrahim, putra Rasulullah Saw.
Allah Swt. mengecam orang yang memutus silaturahmi dalam firman-Nya, Maka, apakah kiranya jika kamu berkuasa, kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan bubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglibatan mereka (QS Muhammad [47]: 22-23).
Allah Swt. berfirman, Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleb kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang burak (Jabanam) (QS Al-Ra’d [13]: 25).
Allah Swt. memerintahkan kita supaya berbuat baik kepada orangtua. Din juga memperingatkan kita supaya tidak menyakiti mereka. Dia berfirman, Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia. Dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah, dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlab, “Wabai Tubanku, kasibilab mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil” (QS Al-Isra’ [17]: 23-24).
Berikut ini beberapa hadis yang menegaskan larangan mendurhakai orangtua dan memutuskan hubungan silaturahmi. Sebuah hadis muttafag ‘alaih dari Abu Bakrah Nufai’ bin Al-Harits r.a. mengatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Maukah kalian aku beri tahu tentang tiga dosa besar?” Kami menjawab, “Mau, wahai Rasulullah.” Lebih lanjut beliau bersabda, “Menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua. “Setelah itu, beliau bersandar dan duduk, lalu melanjutkan, “Ingatlah, yang ketiga adalah sumpah dan persaksian palsu.” Beliau mengulang-ulang terus hingga kami berkata, “Semoga kami tidak seperti itu,” baru beliau diam.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Ash ra. dari Nabi Muhammad Saw, bersabda, “Dosa-dosa besar adalah menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orangtua, membunuh nyarca, dan sumpah palsu.” Maksudnya, orang yang berbohong secara sengaja.
Menghina orangtua termasuk salah satu dosa besar, sebagaimana dinyatakan dalam hadis muttafaq ‘alaih dari Abdullah bin Amru r.a. bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Salah satu dosa paling besar adalah seseorang yang melaknat kedua orangtuanya. Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud seseorang melaknat kedua orang tuanya?” Beliau menjawab, la menghina ayah orang lain sehingga orang itu menghina ayahnya. Seseorang menghina ibu orang lain sehingga orang itu menghina ibunya.”
Durhaka berarti melawan fitrah, menjungkir-balikkan posisi keluarga yang lurus, melukai asuhan orangtua. Durhaka seperti binatang buas berbahaya yang dapat melukai siapa pun di sekitarnya. Sebuah hadis muttafaq ‘alaih dari Abu Isa Al-Mughirah bin Syu’bah r.a. dari Nabi Muhammad Saw, bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan kalian mendurhakai ibu; tidak mau melaksanakan kewajiban, tetapi menuntut yang bukan haknya; membunuh anak perempuan (menguburkan hidup-hidup). Dan Dia tidak menyukai kalian yang mengada-ngadakan cerita, banyak bertanya, dan menghambur-hamburkan barta.”
Hadis ini menjelaskan larangan durhaka kepada ibu dan ayah. Di sini ibu disebutkan secara khusus, karena sikap durhaka sangat menyakitinya, lantaran ibu sangat lemah. Hadis ini juga menjelaskan larangan mengubur anak hidup-hidup. Penyebutan anak perempuan, karena itulah yang umumnya terjadi pada zaman Jahiliyah. Selain itu, hadis tersebut juga menjelaskan larangan berdebat yang tidak ada manfaatnya dan menyebutkan contoh-contoh yang tidak ada gunanya, larangan membuang-buang uang dan menggunakannya untuk sesuatu yang tidak bermanfaat.
Orang yang memutus silaturahmi terhalang masuk surga, sebagaimana dinyatakan dalam hadis muttafaq ‘alaih dari Abu Muhammad Jabir bin Muth’im ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang suka memutus silaturahmi.” Sufyan mengatakan dalam riwayatnya, “Maksudnya, pemutus tali silaturahmi.”
Nabi Muhammad Saw. mengemban misi akhlak kemanusiaan yang luhur. Kainnya adalah cinta. Tiangnya adalah kasih sayang. Sasarannya adalah kekuatan, kemuliaan, dan kebahagiaan. Siapa saja yang merusak kewajiban moral atau etika, berarti ia menolak misi reformasi dan prinsip yang sangat mulia tersebut. Salah satu misi beliau terkandung dalam hadis dari Amru bin Abasah r.a. berkata, “Aku pernah menemui Nabi Muhammad Saw. di Makkah, tepatnya di awal kenabian. Aku bertanya kepada beliau, ‘Siapa engkau?’ Beliau menjawab, ‘Seorang nabi.” Aku bertanya lagi, ‘Apa bukti kenabianmu?’ Beliau menjawab, Allah Swt. telah mengutusku.” Aku bertanya, ‘Untuk apa Allah mengutusmu?” Beliau menjawab, Allah mengutusku untuk menyambung silaturahmi, menghancurkan berhala, mengetakan Allah yang tiada sekutu apa pun bagi-Nya.
Diambil dari Buku Akhlak Muslim karya Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili
(DM)