SEORANG mukmin harus menjaga dan menghormati hak-hak sosial orang lain. Selain itu, menjaga ketentuan yang Allah tetapkan bagi seluruh masyarakat. Penjagaan semacam itu harus didasarkan: rasa persatuan dan persaudaraan, tidak merugikan orang lain, dan menyayangi sesama. Barang siapa menolak persatuan, menyakiti dan bersikap kasar terhadap orang lain, tidaklah layak menjadi bagian dari masyarakat tersebut. Dia telah membuat rekayasa, menghancurkan kemaslahatan, serta menghilangkan kepribadian dan eksistensi masyarakat itu sendiri.
Sementara itu, orang yang bersikap baik, penuh kasih sayang, kelembutan, toleran, tidak mau merugikan orang lain, merasa menjadi bagian dari sebuah masyarakat dan bertanggung jawab menjaga kepentingan mereka, berarti ialah yang pantas diandalkan dalam kesulitan, juga diharapkan kebaikannya dalam kondisi sulit.
Al-Quran dan Hadis Rasulullah Saw. berpesan agar faktor-faktor persatuan dan kekuatan internal dijaga dengan baik. Allah Swt. berfirman, Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan apa apa yang terhormat di sisi Allah maka itu lebih baik baginya di sisi Tuhannya (QS Al-Hajj [22]: 30).
Dengan kata lain, siapa saja yang memuliakan hukum-hukum Islam secara umum, juga memuliakan sesuatu yang tidak boleh dirusak, berarti ia mencari kebaikan untuk dirinya di sisi Allah Swt. Allah Swt. berfirman, Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati (QS Al-Hajj [22]: 32). Yang dimaksud syiar Allah Swt. adalah kewajiban dan tempat manasik haji, atau pemberian-pemberian kepada tanah Haram, karena termasuk bagian dari ibadah haji.
Allah Swt. berfirman, Dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman (QS Al-Hijr [15]: 88). Allah Swt. berfirman, Barang siapa membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia maka seolah-olah ia telah memelihara kehidupan manusia semuanya (QS Al-Maidah [5]: 32).
Dengan kata lain, melukai satu nyawa, sama artinya melukai seluruh umat manusia. Pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja akan mendatangkan murka dan siksa Allah Swt. Dalam rangka menjaga keseimbangan sosial secara umum, baik di pasar, jalan umum, maupun tempat bekerja, Nabi Muhammad Saw. memperingatkan untuk tidak menaruh ujung tombak dan panah di jalan. Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Musa Al-Asyari r.a. beliau bersabda, “Seorang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan bangunan yang saling menguatkan satu sama lain.”
Rasulullah Saw. bersabda, “Barang siapa melewati masjid-masjid kami, atau pasar-pasar kami dengan membawa tombak maka hendaklah ia memegang bagian ujungnya supaya tidak melukai sesama Muslim.” Hal yang sama juga berlaku untuk semua jenis besi, kayu yang membahayakan, tongkat panjang, dan sebagainya. Hadis di atas menjelaskan etika membawa senjata dalam Islam agar tidak membahayakan.
Nabi Muhammad Saw. mengumpamakan umat Islam bagaikan satu tubuh. Sebuah hadis muttafaq ‘alaih dari An-Nu’man bin Basyir na. menyebutkan beliau bersabda, “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal berkasih sayang, cinta-mencintai, dan mengasihi sesama, seperti satu tubub. Apabila salah satu anggota tubuh merasa sakit, seluruh anggota tubuh yang lain turut merasa sakit sehingga tidak bisa tidur dan demam.”
Nabi Muhammad Saw. mengajarkan kepada umatnya sifat-sifat kemanusiaan, kasih. sayang terhadap anak-anak, dan sebagainya. Dalam hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Hurairah r.a. diceritakan Nabi Muhammad Saw. mencium Hasan bin Ali r.a. Saat itu, di samping beliau ada Aqra’bin Habis. Ia berkata, “Aku punya sepuluh anak, tak satu pun pernah kucium.” Mendengar itu, Rasulullah Saw. menoleh dan bersabda, “Barang siapa tidak menyayangi, ia tidak akan disayangi.”
Dalam riwayat muttafaq ‘alaih yang lain, Aisyah ra. berkata, “Sejumlah Arab baduj menemui Rasulullah Saw. Sebagian dari mereka bertanya, “Apakah kalian mencium anak anak kalian?” Yang lain menjawab, ‘Ya, benar. Mereka berkata, “Demi Allah kami tidak pernah mencium mereka. Rasulullah Saw. bersabda, ‘Apa dayaku apabila Allah telah mencabut kasih sayang dari bati kalian.”
Hadis muttafaq ‘alaih yang lain diriwayatkan dari Jarir bin Abdillah ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Siapa pun yang tidak menyayangi orang lain maka Allah tidak akan menyayanginya. Nabi Muhammad Saw.sangat menyayangi anak-anak,sampai-sampai beliau mempercepat shalat ketika mendengar salah seorang dari mereka menangis. Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Qutadah Al-Harits bin Rib’i r.a. bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Ketika aku memulai shalat dan ingin memanjangkan bacaan, tiba-tiba aku mendengarkan suara tangisan anak kecil. Maka, kupercepat shalatku, khawatir menyusahkan ibunya.”
Orang tua, orang sakit, dan orang-orang yang memiliki kebutuhan tertentu, tidak berbeda dengan anak-anak; perlu diurus dan diperlakukan dengan santun. Rasulullah Saw, sampai mempercepat shalat demi mereka, sebagaimana disitir dalam hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu menjadi imam shalat maka hendaklah ia memendekkan bacaan shalat, karena di antara mereka ada yang lemah, sakit, dan tua. Namun, bila shalat sendirian, bolch ia memperpanjang shalatnya sesuka hati.”
Hati Nabi Muhammad Saw. sangat lapang bagi seluruh umatnya. Beliau ingin memberikan keringanan pada mereka, karena khawatir ada yang tidak mampu, sebagaimana dijelaskan dalam hadis muttafaq ‘alaih dari Aisyah r.a. berkata, “Rasulullah Saw. rela meninggalkan suatu amal, meskipun beliau menyukainya, jika khawatir dikira wajib oleh umatnya.
Diambil dari Buku Akhlak Muslim karya Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili
(DM)