Ada seorang lelaki yang sangat akrab dengan saya. Sebut saja namanya suprianto, bukan nama asli. Lelaki ini adalah seorang ustadz. Meski orang memanggilnya dengan berbagai macam panggilan. Kadang dipanggil mas supri, kadang dipanggil pak, kadang dipanggil supri. Tampaknya orang ini berinteraksi dengan berbagai fungsi dalam kehidupanya. Sehingga orang – orang memanggilnya sesuai fungsi yang pernah dia rasakan.
Supriyanto seorang yang tak mempedulikan dengan apa dia dipanggil, mungkin baginya fungsi atau rasa lebih utama dari sekedar status. Dia sering melakukan pekerjaan yang tidak seperti ustadz lainya. Disela – sela ia mengajar ngaji dia manfaatkan waktunya untuk hal – hal lain. Terkadang ia bawa bronjong ke pasar, kadang nebas mangga, kadang nanam kangkung, kadang membekam orang, kadang rukiyah jamaah yang sakit, kadang mengumpulkan rongsokan, dll.
Kegiatan – kegiatan yang oranglain melihatnya bukan bagian dari tugas keguruan membuat guru – guru lainya mencibirnya. Teman sejawatnya meradang karena menganggap perbuatanya mencemarkan nama baik profesi, menurunkan marwah ustadz, mencoreng wajah mulia guru – guru lainya. Teror – teror teman seprofesi mulai dirasakan. Bahkan sempat nama supri dijadikan pembahasaan di kalangan guru dan siswa dengan rasa negatif karena tingkah lakunya.
Anehnya pak ustadz ini tidak bergeming. Dia malah makin rajin jualan, makin rajin nebas mangga, nanam kangkung, mengumpulkan rongsokan, dan berjualan ke pasar. Semuanya dilakukan tanpa mengganggu jadwal ia dalam mengajar ngaji. Warga yang memilki harapan “elite” dengan panggilan ustadz makin tidak menaruh hormat padanya. Ustadz itu mulia, punya harga diri, punya wibawa, tampil rapi, jauh dari urusan dunia, tak elok berdagang, apalagi mengumpulkan rongsokan. Supri tidak bergeming dan terus beramal seperti biasa.
Alhamdulillah, ketika saya tanyakan kenapa ustadz supri mengambil sikap seperti itu?. Kok bisa istiqomah dalam lelaku yang dipandang ganjil oleh sebagian orang?. Beliau tertawa sambil berkata, saya ini guru mas, kalau saya gugup dicibir orang bukan guru namanya. Saya juga punya guru, guru saya weling; besok nek dadi ustadz kudu komplit sangune (bekale). Kudu resik atine, kudu pinter, lan kudu wani.
Pak Supri melanjutkan ceritanya, kalau guru hanya bersih hatinya dan banyak ilmunya tapi tidak punya keberanian. Biasanya akan menjadi ustadz yang beraninya duduk di menara gading, jauh solusi dari masalah. Tidak bisa ngajari keberanian menghadapi hidup. Padahal hidup ini butuh keberanian. Ilmu dan niatnya hanya jadi wawasan tidak menjadi daya dorong di hati santrinya untuk menghadapi lelakunya urip di pahargyan agung. Padahal yang sulit itu bukan megang kitab, yang sulit itu mengamalkan isi kitab. Itu yang butuh keberanian.
Saya sengaja berdagang, sengaja nebas mangga, manjat kelapa, sengaja nandur kakung. Bukan ngajari nebasnya atau ngajari manjatnya, tapi mengajarkan berani cari uang halal dengan kringat sendiri, berani malu, berani terlihat rendah. Ini yang tidak mudah diajarkan. Bukanya kamu sering mendengar kasus korupsi ? Itu terjadi salah satunya karena dia tidak diajarkan berani cari uang yang halal.
Orang berilimu harus berani melayani dengan ilmunya. Jangan pengenya kalau sudah disebut guru, disebut ustadz, atau bahkan maha guru, atau syaikh pengenya dilayani terus, pengenya dipahami terus, pengenya di hormati terus. Perkara kita menghormati mereka itu internal kita. Tapi kalau menuntut orang harus dipahami, dilayani, dicukupi, dihormati yang jangan. Kalau kamu dan mereka ndak papa, tapi kalau santri saya kalau bisa tidak begitu. Semakin tinggi ilmunya harus semakin berani. Wani (berani) rekasa, wani memahami, wani melayani, wani nyukupi, wani menghormati, wani mlarat, wani isin, wani lara, wani luwe, wani dewe, dan wani sing abot – abot.
Setelah ustadz supri terdiam sambil memilah milah mangganya, saya jadi ingat kata pak nasir menerjemahkan hadist nabi, penyakit umat islam itu dua, cinta dunia dan takut mengambil resiko. Hmm… maturnuwun mas supri, maturnuwn pak supri, sukron ustadz supri.