ILMU manusia itu terbatas hanya pada ruang lingkup tertentu, tidak mengetahui yang gaib dan yang hakiki, karena ketidakmampuan dan keterbatasannya. Yang demikian itu dikembalikan kepada Allah Swt. Sebab, Dialah Zat Maha Mengetahui yang gaib. Allah Swt. berfirman, (Dia adalab Tuhan) Yang Mengetahui yang gaib maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu, kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya. Maka, sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya (QS Al-Jinn [72]: 26-27).
Dengan demikian, seorang hakim harus mengeluarkan keputusan hukum berdasarkan bukti yang terlihat (dzáhir). Muamalah manusia harus diputuskan berdasarkan bukti yang jelas “Aku diperintah memutuskan sesuatu berdasarkan bukti yang tampak, dan Allah mampu mengetahui semua hal yang tersembunyi.” Siapa pun tidak boleh merusak sesuatu yang tampak ini. Karena itu, siapa saja beriman atau masuk Islam maka keislaman dan keimanannya kita terima. Kita akan menahan diri dan tidak akan memeranginya. Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Mengapa tidak kamu bedah saja hatinya? Siapa pun yang datang kepada kami dengan mengangkat slogan Islam dan membawa kedamaian, kami akan menerima dan memberinya rasa aman. Darah, harta, keluarga, dan anak-anaknya akan dilindungi. Inilah pendekatan Islam dalam peradilan, muamalah, keamanan, dan hukum-hukum lainnya.
Allah Swt. berfirman, Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu maka bunuhlah orang orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mercha dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertobat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS Al-Taubah [9]: 5).
Allah Swt. berfirman, Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu maka lindungilah ia supaya sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui (QS Al-Taubah [9]: 6).
Pendekatan ini didukung hadis Nabi Muhammad Saw. Beliau sampaikan bahwa perang hanya kepada orang-orang kafir penyembah berhala saja, bukan kepada semua manusia. Sebuah hadis muttafaq ‘alaih dari Ibnu Umar r.a. disebutkan: “Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalab utusan Allah, mendirikan shalat, dan mengeluarkan zakat. Siapa saja melaksanakannya, berarti ia telah melindungi diri dan hartanya dariku, kecuali atas nama Islam. Adapun perhitungannya terserah pada Allah Swt.”
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Abdillah Thariq bin Usyaima r.a. bahwa aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, “Siapa saja mengucapkan là Ilaha Illallâh, lalu kufur terhadap sesuatu yang disembah selain Allah maka harta dan darahnya dilindungi. Adapun hisabnya terserah Allah Swt.”
Dalam tindakan nyata, Nabi Muhammad Saw.sangat mencela orang-orang yang melanggar ketentuan agama. Itulah interaksi secara terang-terangan. Imam Muslim meriwayatkan dari Miqdad bin Al-Aswad r.a. berkata, “Aku berkata kepada Rasulullah Saw., ‘Menurutmu, bila aku bertemu salah seorang yang kafir, lalu ia menyerangku dan menebas salah satu tanganku hingga putus, kemudian ia bersembunyi di balik pohon dan berkata, “Aku menyatakan masuk Islam karena Allah, apakah aku akan membunuhnya setelah ia mengatakan kalimat tersebut, wahai Rasulullah? Beliau menjawab, Janganlah engkau membunuhnya. Aku berkata, “Wahai Rasulullah, ia sudah menebas salah satu tanganku. Setelah itu, barulah ia mengucapkan kalimat tersebut. Beliau bersabda, Janganlah engkau membunuhnya. Jika engkau membunuhnya, berarti kedudukannya seperti kedudukanmu sebelum engkau membunuhnya. Dan, kedudukanmu seperti kedudukannya sebelum ia mengucapkan pernyataan itu.” Maksud dari kalimat kedudukannya seperti kedudukanmu” adalah nyawanya dilindungi dan Islamnya dijaga. Adapun maksud dari kalimat “Dan kedudukanmu seperti kedudukannya adalah diperbolehkan menegakkan gishash atas nyawanya dengan dalih warisan, bukan karena ia orang kafir.
Imam Muslim juga meriwayatkan redaksi serupa, namun kasusnya agak berbeda, dari Umamah bin Zaid r.a. berkata, “Kami diutus Rasulullah Saw. ke suatu tempat bernama Harqah, kabilah Juhainah. Kami langsung menyerbu mereka di waktu pagi, dan kami berhasil mengalahkan mereka. Aku dan seorang dari kaum Anshar mengejar seorang laki-laki dari mereka. Ketika kami menghunuskan senjata kepadanya, ia mengucapkan là Ilaba Illallah. Mendengar itu, temanku, si orang Anshar, menahan diri dan membiarkannya. Akan tetapi, aku langsung menikamnya dengan tombakku. Ia pun mati seketika. Ketika hal ini kemudian diketahui Nabi Muhammad Saw., beliau bersabda kepadaku, Hai Usamah, apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan là Ilaha Illallah?’ Aku menjawab, ‘Ya, karena ia sekadar berlindung saja. Beliau bersabda lagi, Apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan là Ilaha Illallah?’ Rasulullah Saw. tiada henti mengulangi pertanyaan itu sampai-sampai aku berharap belum menjadi Muslim sebelum peristiwa hari itu.”
Dalam riwayat lain Rasulullah Saw. bertanya, “Apakah ia mengucapkan lå läha Illallah, lalu engkau membunuhnya?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, ia mengucapkan tersebut hanya karena takut senjata.” Beliau bersabda, “Mengapa tidak engkau bedah saja hatinya supaya tabu; apakah ia jujur atau tidak mengucapkan kalimat?” Rasulullah Saw. tiada henti mengulangi pertanyaan itu, sehingga aku berharap menjadi Muslim kala itu.
Ajaran Islam mendukung pendekatan ini. Para sahabat pun telah mengamalkannya, baik bentuk maupun isinya, lahir maupun batin. Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Utbah bin Mas’ud berkata, “Aku mendengar Umar bin Khaththab berkata, ‘Di zaman Rasulullah, seseorang diputuskan berdasarkan wahyu. Sekarang wahyu telah terputus. Kini kita memutuskan berdasarkan yang tampak dalam amal perbuatan. Karena itu, siapa saja yang menampakkan kebaikan kepada kami, kami akan memercayai dan merangkulnya. Kami sama sekali tidak mengetahui batinya. Allah-lah yang akan menghisab hatinya. Siapa saja yang menampakkan keburukan kepada kami, kami tidak akan memercayai dan membenarkannya, kendati ia mengatakan hatinya baik”
Diambil dari Buku Akhlak Muslim karya Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili
(DM)