Sebagaimana yang kita tahu wabah covid 19 belumlah usai. Kontroversi terus terjadi seiring dengan ketidaktahuan kita. Bukan saya tidak tahu anda tahu, tapi sama – sama kita tidak tahu, karenanya muncul kontroversi menurut diri kita masing – masing sesuai dengan prasangka kita pada keadaan. Lucunya sebagian kita saling menertawakan keadaan sebagian kita yang lain sambil ngece sesekali jika ada kesempatan. Terlebih jika dihubungkan dengan agama islam yang mayoritas di negeri ini. Pasti makin rame, dari perdebatan lintas individu, individu dengan ormas, antar ormas, bahkan individu, ormas dengan negara.
Semoga saja tulisan ini tidak ikut menjadikan keadaan menjadi lebih runyam. Doa – doa saya semoga tidak terpecah persatuan, lapang dada dalam menerima perbedaan, bersama meminimalkan keburukan, bersama mengusahkan kebaikan, saling terjaga rasa dan tidak keluar kata kotor di lisan maupun media kita. Terlebih kepastian yang akan kita dapatkan bahwa idul fitri kita akan segera datang. Mari kita bersikap sebaik mungkin dengan harapan – harapan sosial dan pribadi yang baik – baik.
Setidaknya besok akan ada beberapa golongan menyikapi idul fitri tahun ini. Golongan pertama golongan muslim yang sudah berafiliasi dengan ormas islam tertentu. Biasanya mereka akan mengikuti arahan ormasnya dengan berbagai macam dalilnya. Jika ada yang tidak mengikuti jumlahnya lebih sedikit dari yang mengikuti. Golongan ini sikapnya sesuai dengan ormasnya, masalah utamanya ormas memutuskan secara nasional sedang ia mungkin tinggal di desa atau tempat tertentu yang mungkin lebih aman.
Bisa kita lihat kasusunya pada pertanyaan jamaah ini. Bagaiamana jika depan rumah saya ada sholat ied sedang saya biasanya juga berperan dalam proses persiapa shola ied, terlebih saya juga seorang imam. Sedang ormas yang saya ikuti menghimbau agar tidak shola ied?. Kalau saya tidak ikut yah gimana?.
Golongan kedua golongan muslim yang tidak berafliasi secara khusus dengan ormas tertentu. Lebih bebas dalam memutuskan dan biasanya ikut suara masa terdekat denganya, atau malah mengambil kesimpulan yang berbeda dengan masa terdekat denganya. Golongan ini seakan bisa memutuskan sendiri, akan tetapi sejatinya juga pusing juga dihadapkan dengan keadaan. Alih – alih ingin mencoba bijak, kalau sendiri kadang bukan bijak yang didapatkan, namun ikut orang banyak didekatnya.
Pernyataannya mungkin seperti jamaah ini, Yah lihat kondisi saja ustadz, kalau ada sholat dilapangan yah sholat kalau ndak yah diruma saja. Atau pernyataan ini Kita ikut arahan para kiyayi kita saja dikampung bagaimana kiranya. Atau pernyataan ini Sholat di ruma saja ustadz, mengambil yang mudhorotnya paling kecil, lagian MUI sudah menghimbau.
Golongan ketiga adalah golongan muslim yang dikatakan berafiliasi dengan ormas yah tidak tapi jika dikatakan tidak berafiliasi yah mereka juga mengatakan tidak. Mengaku warga ormas tapi tidak mengindahkan himbauan ormas. Mengaku tidak berormas tapi kadang memakai himbaun ormas untuk berdalih dalam amal. Yang seperti kadang plin planya lebih dari golongan kedua. Bahkan seringkali berdiri di dua kaki, sambil mencari kesempatan untuk meramai – ramaikan keadaan. Yah biasanya, syukur tidak.
Golongan ketiga ini lebih santai, tidak mau ambil pusing. Dilihat saja keadaan, kemana kiranya angin bertiup, jika kebarat marilah kita ikut kebarat, jika ke timur marilah kita ke timur. Asalnya selamat dan syukur bisa merasa menang dengan mengkritik yang lain.
Lalu bagaiamana kita hendak bersikap?.
Perinsip dan sikap adalah hal yang berbeda. Kalau bahasa pesantren manhaj itu perinsip sedang mauqif itu sikap. Perinsip boleh sama tapi sikap bisa berbeda – beda. Karena perinsip adalah ideal sedang sikap bisa berbeda karena dihadapkan dengan realita atau keadaan. Sedang keadaan dan realita berbeda – beda setiap orang.
Perinsip kita dalam masalah ini sama, yaitu menekan keburukan semaksimalkan mungkin dan mendatangkan kebaikan sebanyak mungkin. Kita sama – sama berharap wabah ini tidak menyebar, kita sama – sama berharap mendapatkan kebaikan sebanyak mungkin, kita sama – sama berharap bisa ibadah semaksimal mungkin, kita sama – sama berharap persatuan umat tetap terjaga, kita sama – sama berharap hubungan sesama tetangga tak retak, kita sama – sama berharap tidak ada salah dan menyalahkan, kita sama – sama berharap kenteraman dan kenyaman selalau terjaga bersama.
Jika kemudian sikap kita berbeda dalam pengambilan keputusan, maka pahamilah. Banyak dinamika dalam mengambil keputusan di lapangan, baik pergerakan dzohir maupun batin. Orang atau kelompok untuk sampai pada keputusan A melewati berpuluh, beratus, beribu pertimbangan, itu khusnudzon kita. Sehingga tahan – tahan diri kita jika ingin berkomentar atau berniat ingin meluruskan atau menambah pertimbangan. Jika waktu dan keadaan memungkinkan hal itu sangat baik membuka ruang diskusi. Jika tidak ijtihadkan diri untuk menahan agar tidak terjadi mudhorot yang lebih besar. Mungkin orang mengira kita lemah, biarin, orang mengira kita bodoh, biaran. Mereka sedang kurang paham saja kalau kita sedang memberi ruang untuk oranglain dengan terus berharap kebaikan untuknya dan untuk kita.
Saya sendiri berperinsip lebih baik sholat ied di rumah bersama santriwati. Namun jika kemudian tetangga datang ke pesantren untuk ikut sholat, silahkan. Itu sikap saya, kiranya malah saya buat panitia kecil terbatas untuk tetangga yang minta sholat bareng dengan mengusahakan minimal resiko. Pun kalau ada kabar MUI di salah satu provinsi memperbolehkan sholat ied di masjid dan lapangan, saya coba lapangkan dada dengan khusnudzon yang baik dan doa – doa yang dipanjatkan. Lebih – lebih kita ini umat buka pemerintah. Kewajibanya menjaga stabilitas masyarakat dengan sikap dan muamalah. Marilah kita jaga bersama – sama hubungan ini. Selamat Lebaran, Sugeng Riyaya gih. Mari Sembuh
(Tulus Prasetyo)