Inspirasi tulisan ini sebenarnya muncul saat lebaran tahun lalu, tepatnya lebaran yang sudah diperbolehkan untuk berkumpul terkait kasus COVID-19 yang mulai mereda. Sama dengan lebaran – lebaran sebelumnya kami sekeluarga sering diajak silahturahmi ke pemilik usaha tempat kakak bekerja. Sebenarnya kurang begitu kenal, ketemunya hanya setahun sekali, pas lebaran saja. Tapi karena ndak enak sama kakak dan diniati menjalin hubungan lillah semoga saja bisa menambah pahala, nambah saudara, dan nambah ilmu, aamiin.
Rumah beliau agak masuk di area perkampungan, tepatnya seperti dipinggir kampung. Jika kesana suasana dingin dan sejuknya masih terasa, tanah pekaranganya masih luas, ada kandang sapinya, sudah khas sekali suasana kampung yang ngagenin. Kisahnya beliau mengadu nasib di Jakarta, infonya dari kakak dulu awalnya sopir terus membuka usaha sendiri dan akhirnya “sukses”. Kisahnya mungkin mirip kisah pak Sahroni anggota DPR RI, yang memulai usahanya dari sopir, dari nol, bahkan nol besar. Alhamdulillah, Allah membagi rezeki kepada siapapu yang dikehendaki.
Setahu saya beliau juga tamatan SMK / SMA, ini sekaligus bukti buat anak muda, jika yang namanya kesuksesan dalam masalah harta itu tidak harus dengan kuliah. Bahkan kalau kuliah diniati hanya untuk mencari harta, sangat lucu dan kacaunya niat, kacaunya cara pikir. Karena seringkali dalam masalah kesuksesan usaha tidak berhubungan dengan ijazah, yah ada yang sukses dengan ijazah sarjana, tapi tidak selalu ijazah sarjana menjamin kesuksesan usaha. Bahkan beberapa jamaah yang sering ngobrol dan wakaf ke pesantren kami kebanyakan belum sempat kuliah.
Kalau cerita dari nol tidak punya apa – apa kemudian jadi orang kaya, tidak kuliah kemudian bisa punya perusahan, saya kira sudah banyak diluar sana. Yakin, masalah harta masalah yang sudah ada jatahnya dan ada takdirnya dan ada perjuanganya. Semua akan menemukan takdirnya masing – masing dalam masalah kekayaan. Apalagi ngomongin dapat uang banyak, pasti tidak asyik. Makanya yang punya banyak uang biasanya ndak begitu suka ngomongin jumlah uangnya. Mereka lebih suka membicarakan untuk apa uang ini.
Uang ditangan orang baik tidak sama dengan uang ditangan orang jahat. Orang baik dengan uang akan menguatkan kebaikanya dan orang jahat dengan uang akan menguatkan kejahatanya. Beliau, prasangka kami orang baik yang punya uang. Kami melihat beliau membuat kelas ngaji al qur’an di rumahnya yang ada di Jakarta. Memfasilitasi guru ngaji dan masyarakat yang mau ngaji agar lebih dekat dengan Allah dan al qur’an. Bahkan beliau juga membangun masjid di kampungnya, tepatnya di depan rumah orangtua beliau. Lumaya besar masjidnya.
Masjid yang beliau bangun diberi nama masjid Al-Barokah. Saat kami lihat masjidnya berdecak kagum, bukan karena bangunanya, tapi karena niatnya, karena membangun masjid samadengan membangun kehidupan. Meletakan pondasi hidup, mengajak orang untuk sholat, menyatukan umat. Setelah masjidnya makmur, lalu diisi pengajian hingga orang – orang sekitar majid makin kenal dengan Allah, kenal rasulullah, dan kenal agama islam dengan lebih dekat. Sedikit banyak akan meningkatkan kualitas iman, ilmu, dan amal masyarakat sekitar. Aamiin
Masjid yang ia bagun dikampung halaman adalah komunikasi kepada pemuda – pemuda bahwa di perantauan kita bisa bertemu iman, ilmu, pengalaman, dan rezeki yang halal dan berkah. Aamiin
Setelah membuat tempat ngaji, kemudian membangun masjid, baru beliau berangkat haji memenuhi panggilan Allah. Prasangka kami, beliau ingin meneladankan bahwa mendahulukan kepentingan orang banyak lebih beliau perioritaskan daripada kepentingan pribadi. Semoga Allah mudahkan kita semua dalam meneladani kebaikan – kebaikan beliau. Aamiin.
Sepulang haji semoga Allah tambahkan berkah pada umur, keluarga, dan harta beliau, Aamiin. Semoga Allah perbanyak orang baik, dan semoga Allah mudahkan kita memanfaatkan harta yang kita miliki untuk kebaikan. Aamiin.
Tulus Prasetyo
Pesantren Azzakiyyah Yogyakarta